SEJARAH SINGKAT DESA CIKASO
Desa
Cikaso merupakan salah satu desa yang sudah tua, sejarah mengenai kapan
terbentuknya, dari mana asal orangnya dan sejarah hal-hal yang lainnya sampai
sekarang belum terungkap. Misteri-misteri yang tersimpan pada tempat-tempat
yang dianggap mempunyai keramat sampai saat inipun masih menjadi misteri (belum
diketahui rahasianya), benda-benda pusaka dan harta-harta yang menurut ceritra
tersimpan di Gunung simpen ( nama salah satu tempat keramat yang berlokasi di
RT.21/01 Dusun Manis ) sampai kinipun belum terbongkar. Orang hanya dapat
mengetahui dari dongeng-dongeng yang terkadang membawa hati kita untuk
menyelami kegaiban mahluk-mahluk halus sehingga orang yang mendongengnya itu sulit
untuk membuktikan kebenaran ceritranya dan orang yang tidak atau kurang
kepercayaan kepada mahluk-mahluk gaib sulit untuk menerima ceritra tersebut.
CERITERA
RAKYAT
1.
Ceritera rakyat
Yang dimaksud ceritera rakyat adalah ceritera yang berkembang
dimasyarakat, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut tanpa disebutkan
tahun kejadiannya. Ceritera rakyat ini banyak kelemahannya karena selain tidak
disebut tahun kejadiannya, faktor keterbatasan ingatan sipenceritera dari orang
yang satu ke orang yang lain akan ada bumbu-bumbu ceritera baik menambah
ataupun mengurangi.
Penulis disini akan menyajikan ceritera rakyat pada zaman Tumenggung
Argawijaya hasil wawancara dengan beberapa orang tua, rekaman kaset, wawancara
siswa SMA Muhammadiyah dengan Bapak Rusba dan Bapak Umar Widjaya almarhum,
ceritera yang diungkap dalam ceritera wayang yang sering dilakonkan oleh dalang
Ali pada tahun 50-an yang kesemuanya ini penulis himpun dan disusun dalam satu
ceritera, selain itu tentu saja daya imajinasi penulis sendiri dikembangkan
untuk menyusun sistematika penulisan, adapun kisah-kisahnya sebagai berikut :
Ø
Tersebutlah kisah di Cikaso ada pemerintahan dengan kepala
pemerintahannya bergelar Tumenggung, jenjang pemerintahan yang ada pada waktu
itu terdiri dari Tumenggung (setingkat Bupati), Demang (setingkat Wedana) dan
Desa dipimpin oleh Kuwu.
Adapun yang jadi Tumenggung adalah Tumenggung Argawijaya dengan
Patihnya Nagareja. Tumenggung Argawijaya adalah anak dari Dalem Indrawana dan
dalem Indrawana mempunyai adik bernama Indraimawan. Mengenai Indrawana dan
Indraimawan tidak banyak diceriterakan begitu pula asal usulnya.
Sebutan Dalem bagi Kepala Pemerintahan di daerah Kuningan digunakan
sekitar tahun 1700, hal ini berdasarkan catatan dalam buku sejarah Kuningan
yang menceriterakan bahwa setelah Prabu Geusan Ulun meninggal pada tahun 1650,
kepala pemerintahan diganti anaknya yang sulung yang bergelar Mangkubumi.
Setelah Dalem Mangkubumi memegang kekuasaan di Kuningan maka timbul kembali
kekuasaan-kekuasaan diantara saudara-saudaranya yang lain.
Di pusat kota Kuningan dipegang oleh Dalem Mangkubumi, sedangkan
saudara-saudaranya sebanyak 28 (dua puluh delapan) orang menempati
tempat-tempat kedudukan seperti dapat diketahui dari nama julukannya atau
tempat pemakamannya seperti Dalem Mangkubumi dimakamkan di Purwawinangun, Dalem
Citangtu, Dalem Pasawahan, Dalem Panyilih, Dalem Koncang, Dalem Trijaya, Dalem
Kasturi, Dalem Dago Jawa, Dalem Winduherang, Dalem Cengal dan lain-lain.
Apabila dilihat dari sejarah Kuningan, Dalem Indrawana tidak
tercatat ini berarti bahwa Cikaso terpisah dari Kuningan dan Pemerintahan
Indrawana diperkirakan pada sekitar tahun 1750.
Kita kembali mengenai Ceritera Rakyat di Cikaso, suatu waktu
Tumenggung Argawijaya diundang untuk ikut menghadiri perayaan “mulud” di Solo
(Yogya), akan tetapi karena berhalangan menugaskan Demang Cimarilit untuk
menghadirinya, tentu saja dengan membawa upeti dan diiringi beberapa pengawal.
Waktu datang seluruh undangan yang lain sudah hadir sedang menghadap sultan dan
Demang Cimarilit datangnya terlambat sehingga ditegur oleh sultan. Atas teguran
tersebut tentu saja merasa tersinggung lalu menjawab bahwa meskipun datangnya
terlambat saya tidak akan kalah oleh orang lain, maka merokoklah Demang
Cimarilit, tiba-tiba muncul beberapa ekor harimau yang mengacaukan pertemuan,
tanpillah Demang Cimarilit untuk menangkap dan menungganginya sehingga seluruh
peserta yang hadir terbengong-bengong dan duduk kembali. Pada waktu akan pulang
Demang Cimarilit tidak permisi lagi, sehingga dicari kesana kemari dan
diketemukan dipendopo sedang makan-makan dengan teman-memannya sebanyak tujuh
orang yang tidak diketahui siapa yang tujuh orang tersebut karena tidak ada
yang mengenalnya. Setelah itu Demang Cimarilit permisi pulang bersama tujuh
temannya dengan menunggangi harimau.
Ø
Kisah lain menceriterakan bahwa suatu waktu Kepala Pemerintahan
dari Seuseupan, sebut saja Patih Seuseupan merasa iri hati atas kekuasaan
Tumenggung Argawijaya yang makin luas dan beliau bermaksud menyerang Cikaso.
Untuk menahan serangan, Tumenggung menugaskan pasukannya untuk mencegat dibatas
kota yaitu batas antara Sindangbarang dengan Cikaso. Untuk menggagalkan
serangan tersebut Imbakerti (Penasihat Tumenggung) membekali pasukan dengan
sapu merang dan air ketan hitam dengan pesan apabila sudah behadap-hadapan
dengan musuh hendaknya air ketan hitam tersebut dicipratkan dengan menggunakan
sapu merang. Dengan kekuasaan Tuhan pada saat berhadap-hadapan dengan musuh air
ketan hitam tersebut dicipratkan maka bergelimpanganlah musuh dalam keadaan
pingsan, patihnya sendiri dibunuh dengan dipenggal kepalanya. Setelah patihnya
meninggal maka pasukannya dikirim makanan (timbel) dengan lauk pauknya lalu
sadar dari pingsannya dan disuruh makan, setelah selesai makan disuruh pulang
lagi ke Seuseupan.
Ø
Masih dalam zaman Tumenggung Argawijaya, mengkisahkan terjadinya
peperangan antara Tumenggung dengan Kompeni yang mau menaklukan Cikaso,
ceritera ini sering dilakonkan dalam ceritera wayang, adapun ceriteranya
sebagai berikut :
Dikisahkan pula pada zaman Tumenggung Argawijaya, Kompeni berusaha
untuk menaklukkan Cikaso, karena Cikaso masih tetap tidak mau tunduk kepada
Kompeni maka diaturlah suatu tipu muslihat oleh Belanda, yaitu dengan
mengadakan pesta besar-besaran bertempat di desa Kaliaren. Maksud pesta
tersebut akan mengundang Tumenggung Cikaso dan akan dibunuhnya ditempat
keramaian. Diundang dalam pesta tersebut Raden Leuwimunding, Gedeng Plumbon,
Pangeran Gempol, Kuwu Kaliaren dan Tumenggung Cikaso. Undangan pesta
disampaikan oleh Kuwu Kaliaren kepada Tumenggung, tapi tumenggung, tidak bisa
hadir karena berhalangan dan mengutus patihnya yaitu patih Nagareja. Meskipun
tumenggung tidak hadir tapi niat Kompeni tetap dilaksanakan yaitu ingin
membunuh Patih Nagareja. Patih Nagareja adalah Patih yang cukup tangguh/sakti
dan kuat serta tidak mempan oleh senjata, tapi ada yang nengetahui kelemahan
beliau yaitu tidak akan tahan oleh tusukan bambu hitam (awi hideung=sunda).
Saat berlangsungnya pesta terjadilah keributan dan patih Nagareja
dikeroyok dan ditusuk dengan bambu hitam, dalam keadaan terluka dengan tusukan bambu
masih tertancap diperutnya Patih Nagareja meloloskan diri dan lukanya dibalut
dengan ikat kepala (iket=sunda) maksudnya mau pulang kembali, tetapi dalam
perjalanan mendekati perbatasan Cikaso (daerah Jalaksana) lukanya tidak
tertahankan lagi, maka dicabutlahbambu hitam yang menancap diperutnya, bambu
tersebut dilemparkan dan jatuh di kampong Pasawahan yang sekarang dinamakan Padelingan.
Patih Nagareja itu sendiri dalam keadaan luka terlunta-lunta
akhirnya meninggal dan tidak diketahui kuburannya, tapi ada pula ceritera lain
bahwa Patih Nagareja dikuburkan di Kompleks Makam Tumenggung.
Ø
Tersebut pula kisah setelah Kompeni gagal membunuh Tumemnggung
Argawijaya, maka Kompeni bekerja sama dengan Raden Leuwimunding dan Raden
Leuwimunding dikenal sebagai orang yang cukup sakti, kebal akan senjata tajam
karena memiliki badik emas, ada juga yang menceriterakan mempunyai wesi kuning.
Setelah diketahui bahwa Raden Leuwimunding akan menyerang, maka
bermusyawarahlah Tumenggung Argawijaya dan Imbakerti. Dalam Musyawarah tersebut
diputuskan bahwa tidak akan melawan Raden Leuwimunding dengan perang secara
terbuka, tapi akan dilawan dengan tipu muslihat karena Raden Leuwimunding cukup
sakti maka apabila dilawan dengan secara terbuka akan banyak menimbulkan
korban. Tipu muslihat yang digunakan yaitu dengan membuat lubang jebakan yang
didalamnya diisi dengan bilah-bilah bambu runcing (dirucuk) dan atasnya
ditutup dengan daun-daunan dan tumput. Selain dipersiapkan jebakan, Tumemnggung
meminta bantuan kepada tumenggung Kuningan, tetapi tidak mau membantu karena
syarat yang diajukan ditolak oleh Tumemnggung Argawijaya, adapun syaratnya
yaitu mau membantu Cikaso asal Cikaso mau bergabung ke Kuningan / bergabung
dibawah kekuasaan Tumenggung Kuningan.
Sesuai dengan apa yang sudah dipersiapkan maka datanglah pasukan
Raden Leuwimunding yang dibantu oleh Kompeni, pasukan sebelum menyerang
berkumpul disuatu tempat (sekarang dinamakan Desa Kurucuk dan diganti namanya
jadi Kramatmulya), setelah pasukan berhadap-hadapan dan saling mengejek, maka
menyerbulah pimpinan pasukan Raden Leuwimunding beserta pasukannya mengejar
pasukan Cikaso yang lari kesebelah timur, jebakan sesuai dengan perhitungan
pimpinan pasukan Raden Leuwimunding terjerumus kedalam lubang jebakan , lalu
dikeroyok beramai-ramai, dilempari dengan batu, ditimbun dengan tanah sampai
mati, pasukannya mengundurkan diri dan sebagai peringatan tempat berkumpulnya
pasukan saat akan menyerang dinamakan Kurucuk, karena
pimpinannya mati dirucuk. Tempat
terjerumusnya Raden Leuwimunding dinamakan Cilangga,
karena
penyerangan tersebut laga atau tidak
berhasil, tetapi ada pula yang menyebut bahwa Cilangga tersebut berasal dari langgeng karena airnya tetap mengalir meskipun pada musim kering sekalipun.
Dari tempat tertimbunnya Raden Leuwimunding mengalir air yang berbau bangkai
sehingga aliran air / selokan tersebut dinamakan Cibugang.
Pasukan Cikaso yang mengundurkan diri dalam keadaan luka-luka
membersihkan luka-lukanya pada sebuah aliran sungai yang sekarang dinamakan Cihanyir. Adapun kepercayaan rakyat Desa Cikaso pada lokasi tertentu di Cihanyir
airnya bisa digunakan untuk mengobati. Disebut Cihanyir karena airnya bau anyir
darah.
Setelah diserang pasukan Raden Leuwimunding, ketumenggungan di
Cikaso makin lemah dan akhirnya Tumenggung meninggal harta kekayaannya disimpan
disebuah tempat yang sekarang disebut Gunung
Simpen.
Lokasinya di Dusun Manis Blok Nusa. Adapun harta yang disimpannya berupa
panimbal beureum dan panimbal bodas (Teko berwarna merah dan putih) yang berisi
Jagung Putih, menurut ceritera yang dimaksud Panimbal beureum yaitu teko dari
bahan keramik, sedangkan panimbal bodas yaitu teko dari porselin dan yang
dimaksud degan jagung bodas adalah berlian. Selain itu disimpan pula Sangga
Emas (baki emas) Keris Antayansari dan Keris Nagapasah. Menurut ceritera di
Gunung Simpen ini ada yang menunggunya yaitu harimau jadi-jadian yang dinamai
si Pencor (Harimau Pincang)
Ø
Ada pula ceritera rakyat mengenai Imbasuta, Imbasuta adalah adik
dari Imbakerti. Mengenai Imbasuta ini ada dua versi ceritera, yaitu versi
ceritera orang-orang Sindangbarang dan versi ceritera orang-orang Cikaso.
·
Versi ceritera orang Sindangbarang (Disarikan
dari Diktat sejarah Desa Sindangbarang yang disusun oleh U. SUGANDA tahun 1984)
Embah Buyut Cihideung atau Ciringsing Wayang yang biasa disebut
oleh orang Cikaso Imbasuta adalah leluhur orang Sindangbarang, suatu waktu
terjadi pertentangan dengan leluhur Desa Karangmangu karena persengketaan batas
wilayah, karena kesaktian Embah Buyut Cihideung, leluhur Desa Karangmangu
mengalami kekalahan dan meminta bantuan ke Cikaso akan tetapi itupun tidak
kuat, sehingga batas Desa Sindangbarang bertambah ± 50 meter dari batas semula,
karena Embah Buyut Cihideung seorang yang ahli pertanian, maka beliau membuat
saluran tersebut Embah Buyut Cihideung tidak menggunakan alat-alat seperti
biasanya, tetapi dengan alat kemaluannya, disuatu tempat yang bernama Cisuta
ada sebuah batu yang menghalangi saluran sehingga sulit dikerjakan, Embah Buyut
Cihideung merasa sedih sampai mengeluarkan air mata dan ditempat itulah asal
mulanya disebut Cisuta ((nyusut cimata =sunda), ditempat tersebut saat ini ada
batu menonjol kesaluran air dan ada bekas-bekas menatah batu tersebut. Dalam
pekerjaan selanjutnya pada suatu tempat tidak meneruskan pekerjaan karena
terlalu berat melewati tegalan apabila saluran tersebut diteruskan ke sebelah
utara dan tempat tersebut dinamakan Susukan Burung (saluran tidak
jadi), pekerjaan pembuatan saluran tersebut dan saluran air tersebut bisa
mengairi sawah seluas ± 53 Ha. Suatu waktu Embah Buyut Cihideung diundang ke
Cikaso untuk menyaksikan pertunjukan wayang, tetapi ceritera yang dilakonkan
wayang tersebut ternyata menceriterakan tentang sepak terjang Embah Buyut
Cihideung baik yang jelek atau yang bagusnya. Akibat ceritera tersebut timbulah
amarah Embah Buyut Cihideung sehingga terjadi perkelahian dengan orang-orang
Cikaso dan Embah Buyut Cihideung kalah lalu dikejar dan mundur ke
Sindangbarang, karena dikejar terus lalu mundur menuju kesebelah timur sampai
ke Desa Cihideunggirang, beliau bersembunyi disebuah sumur dan orang-orang
Cikaso kehilangan jejak, tapi akhirnya ditemukan juga. Sumur yang dipakai
tempat persembunyian Embah Buyut Cihideung dinamakn Sumur
Cihideung dan Embah Buyut Cihideung itu sendiri dimakankan didekat sumur
tersebut di Desa Cihideunggirang dekat pekuburan Desa Panyosogan Kecamatan
Ciawigebang. Sebelum Embah Buyut Cihideung mundur sampai ke Cihideung, sempat
pula memberikan amanat kepada warga Desa Sindangbarang untuk tidak menanggap
wayang, sehingga hiburan menanggap wayang menjadi tabu bagi masyarakat
Sindangbarang. Baru sesudah Kemerdekaan (tahun 1945) ada yang berani menanggap
wayang, sebelumnya ada juga yang berani menanggap wayang tapi terjadi bencana.
Ceritera lain mengisahkan bahwa pada saat di Desa Sindangbarang
kesulitan mencari seorang Pimpinan Desa (Kuwu) datanglah seorang laki-laki yang
cukup cakap ke Desa Sindangbarang yang ditanya oleh seorang leluhur Desa
Sindangbarang yaitu Embah Buyut Gede tentang maksud kedatangan pemuda tersebut,
jawabnya bahwa ia dating dari Kalimanggis atas perintah ibunya untuk berguru
dan menanyakan ayahnya kepada Embah Buyut Gede. Setelah pemuda tersebut berdiam
lama dan berguru kepada Embah Buyut Gede lalu diangkat menjadi Kuwu pertama
Desa Sindangbarang dengan gelar Embah Bewu (Lebed an Kuwu), disebut Lebe karena
beliau juga sebagai ahli dalam bidang agama. Adapun ayahnya yang dicari pemuda
tersebut dijelaskan oleh Embah Buyut Gede bahwa ayahnya adalah Tumenggung
Cikaso dari istrinya / selir yang berasal dari Kalimanggis.
·
Versi ceritera orang Cikaso.
Imbakerti mempunyai dua orang saudara, yaitu Imbawacana dan
Imbasuta. Imbakerti adalah penasihat tumenggung Cikaso,seorang arif dan bijaksana,
sesepuh tempat orang bertanya dan cukup dalam ilmunya begitu pula kedua adiknya
Imbasuta dan Imbawacana kedua-duanya berperan sebagai pembantu Tumenggung.
Imbawacana membantu dalam bidang Pembinaan Pemerintahan sedangkan
Imbasuta membantu dalam bidang Kesejahteraan Rakyat, khususnya dalam bidang Pertanian.
Imbasuta mempunyai jiwa penyayang dan ahli dalam bidang pertanian, merasa
prihatin melihat masyarakat yang berada disebelah timur Desa Cikaso
(Sindangbarang) mempunyai lahan yang tidak bisa diairi, maka dibuatlah satu
saluran air untuk mengairi daerah tersebut, dalam proses pembuatan saluran
tersebut, ceriteranya sama dengan ceritera versi orang Sindangbarang yaitu
membuat saluran tersebut dengan kemaluannya sedangkan saluran tersebut
dinamakan Solokan Cisuta. Sebelum meninggal
beliau memberikan amanat ingin dikuburkan dibatas wilayah perbatasan kekuasaan
Tumenggung Cikaso sehingga pada saat beliau wafat layonnya akan dibawa
keperbatasan kekuasaan wilayah Cikaso, tapi ditengah jalan (didaerah
Sindangbarang) terjadi hujan besar dan layon tersebut ditinggalkan begitu saja
oleh orang-orang yang membawanya. Layon tersebut ditemukan oleh orang-orang
Sindangbarang dan mengatakan bahwa itu mayat Imbasuta yang ingin dimakamkan
dibatas wilayah Cikaso, sebagai tanda terimakasih orang-orang Sindangbarang,
layon tersebut dibawa dan untuk dikuburkan dibatas wilayah Cikaso sesuai
amanatnya.
Karena sipembawa layon (keranda mayat) tidak mengetahui batas-batas
yang tepat wilayah Ketumenggungan Cikaso, pada saat sampai di Desa Cihideung
dikuburkanlah disana, dan sampai sekarang kuburannya di Desa Cihideung. Ada
kepercayaan masyarakat Cikaso, kalau mau nyarang (menahan hujan) hendaknya
berjiarah ke kuburan Imbasuta. Itulah ceritera Imbasuta menurut versi orang
Cikaso, mana yang benar dari kedua versi ceritera ini ? Wallahu a’lam
bisshawaab, namanya juga ceritera.
Ø
Ceritera lain beberapa kejadian bencana alam di Desa Cikaso dan
ceritera ini diceriterakan Kakekku Sugri Rana Sasmita dan ceritera ini
diceriterakan oleh orang tuanya (Buyut penulis) dimana pernah terjadi gempa
bumi yang cukup hebat sehingga alun-alun Cikaso, dan membuat alur sungai dari
dalam alur itu keluar ikan-ikan yang terbawa air. Gempa ini tidak mengakibatkan
tanah-tanah jadi retak tapi banjir besar melanda Cikaso dengan membawa batu-batu
besar, pada peristiwa tersebut tampillah orang tua yang punya cukup ilmu
berdiri diperbatasan Desa Cikaso Kurucuk (Kramatmulya) berdo’a menengadahkan
tangan dan kehendak Tuhan batu-batu besar yang terbawa banjir tersebut tidak
melanda Desa Cikaso tapi berbelok kekiri dan kekanan sehingga sampai saat ini
di Cikaso tidak terdapat batu-batu bekas banjir tersebut, yang ada didaerah
Desa Kramatmulya (Batu Karut) dan disebelah selatan Desa yang ada komplek
Mungkal Dempak dan Cigeletuk. adapun bekas retaknya tanah akibat gempa yang
membuat seperti alur sungai ditengah alun-alun saat ini merupakan endapan pasir
yang memanjangsekitar ± 7 meter. Untuk pembuktian ini pernah disudut alun-alun
sekarang yang dipakai sekolah Tsanawiyah (sekarang bangunan MI) digali pasirnya
dan ini apabila ditarik garis lurusnya sampai kerumah penulispun masih terdapat
endapan pasir dan ini mungkin terus memanjang sampai sungai Cilengkrang sebelah
timur, itulah ceritera Kakekku yang diceriterakan oleh orang tuanya.
Kapankah kejadian ini ? Perkiraan penulis terjadi pada tahun 1804,
karena pada tahun tersebut terjadi gempa bumi yang menghancurkan
bangunan-bangunan di kota Kuningan.
Ø
Kisah lain menyebutkan bahwa pada saat Kakekku lahir terjadi
bencana alam yang hebat, langit menjadi gelap tertutup debu, orang-orang
berlarian kesana kemari “ di Desa Iur” pada waktu itulah Kakekku lahir dan oleh
orang tuanya waktu kecil diberi nama si Iur, untuk memperingati kejadian
bencana alam tersebut.
Kapankah kejadian ini ? Perkiraan penulis terjadi pada tahun 1883
pada saat gunung Krakatau meletus, peristiwa ini bukan saja bencana Nasional
tapi bencana Internasional yang mengguncang 2/3 bumi ini, untuk menggambarkan
betapa hebatnya ledakan Gunung Krakatau tersebut akan sedikit penulis uraikan
cukilan ceritera dalam buku 100 tahun meletusnya Krakatau yang dikarang Abdul
Hakim, diterbitkan oleh Pustaka Antarkota tahun 1981 sebagai berikut :
Pada bulan Agustus 1883 terjadi letusan dahsyat Gunung Krakatau di
Selat Sunda yang menggemparkan seluruh dunia, terjadinya ledakan pada tanggal
26,27 dan 28 Agustus tahun 1883 selama tiga hari Krakatau menyemburkan abu,
batu apung dan lahar panas. Gelombang tinggi memusnahkan kota Teluk Betung
(Lampung) Anyer dan Caringin (Banten) bunyi ledakan terdengar keseluruh Nusantara
dan letusan-letusan kebarat terdengar sampai Srilankka dan Karachi ketimur
sampai pertengahan Sidney. Gelombang-gelombang bunyi letusan meliputi
seperempat dari luar permukaan bumi. Abu-abu halus yang ditiupkan mencapai
ketinggian 30 – 70 Km dan abu-abu ini menyebar kesebagian besar dunia. Letusan
Krakatau ini berpengaruh terhadap tekanan udara sampai ke Eropa. Di Tokyo
setelah terjadi ledakan Krakatau berminggu-minggu lamanya matahari kelihatannya
berwarna merah tembaga. Di kota Missauri (Amerika) 6 bulan setelah terjadi
eurupsi matahari berwarna kuning. Banyaknya bahan material yang disemburkan
oleh letusan gunung Krakatau ke angkasa 18 Km³ yang tersebar didaerah seluas
872.000 Km². jumlah korban
jiwa karena letusan Krakatau bulan Agustus 1883 sebanyak 13.417 jiwa. Dari
peristiwa alam inilah penulis bisa mengambil kesimpulan titimangsa hari
kelahiran Kakek penulis yaitu pada bulan Agustus 1883 dan wafat pada bula Juli
1967 pada umur 84 tahun.
Ø
Ada pula ceritera lain bahwa pada waktu pemilihan Kuwu Sajum ada
yang ”mancir” dari luar Desa (ikut pemilihan) yaitu Bapak Kuwu Mashar dari
Kramatmulya, Bapak Kuwu Mashar adalah adik dari Bapak Kuwu Tuba
Karangmangu,tapi ternyata kalah, setelah selesai pemilihan, kemungkinan ada
yang tidak puas karena terjadi kebakaran yang menghabiskan seluruh Kampung
Pasawahan. Adapun Kuwu Sajum meninggal setelah ikut pesta “Tayuban” yang
diselenggarakan di Desa Kramatmulya. Pesta yang diadakan di Kurucuk atau
Kramatmulya adalah dalam rangka menyambut pembesar belanda yang akan lewat dari
Cirebon ke Kuningan., karena sudah biasa apabila ada pembesar akan lewat suka ada perintah melaksanakan
keramaian / pesta dipinggir jalan dan Kramatmulya diadakan pesta didekat rumah
bapak Abang sekarang (Alfa Mart saat buku ini dibuat).
Meninggalnya Bapak Kuwu Sajum setelah minum minuman keras dalam
Tayuban, tiba-tiba muntah darah lalu dibawa pulang dan akhirnya meninggal
dunia,kurang lebih 10 hari kemudian Bapak Ngabihi Jejer pun meninggal dunia
pula, beliau ikut hadir dalam pesta tersebut dan ikut minum-minum. Apakah
kematian ini ada unsure kesengajaan ? penulis tidak mengetahuinya.
Demikianlah ceritera-ceritera rakyat dari Cikaso yang berkembang
dari mulut ke mulut yang dapat penulis himpun dan disusun dalam suatu ceritera.
2.
Ceritera rakyat
dihubungkan dengan fakta sejarah
Menceriterakan suatu kisah dalam bentuk dongeng, riwayat, ataupun
sejarah dalam bentuk tertulis ataupun lisan biasanya tidak terlepas dari
keadaan atau kejadian sekitarnya.
Dua
daerah kesultanan dan beberapa daerah lain yang ada hubungannya dengan ceritera
rakyat di Desa Cikaso yaitu Kesultanan Yogya dan Kesultanan Cirebon, akan
penulis uraikan secara singkat untuk bisa sedikit member gambaran tentang
tahun-tahun kejadian dengan beberapa bagian ceritera rakyat.
a.
Kesultanan Mataram
Pada tahun 1645 Amangkurat
I diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat
gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia
bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng
Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa
Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat
yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku
bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh
Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut
seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.
Amangkurat I
mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram
yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem
pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang
tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan
Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.
Pada tahun 1647 ibu
kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan
istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan
Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang
penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama
namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para
ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih
dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas
Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita
bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan
kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu.
Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663.
Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya
yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran
Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik
Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh
Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati
Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan
Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan.
Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat
I.
Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng
Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan
Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta
sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak
semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati
Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom
sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan
terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan
Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad
Tanah Jawi menyatakan, dengan
jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah
mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton
Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali
keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan
gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan
Mataram.
Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah
Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat.
Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi
disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali
satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677
di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat
Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers
hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar
Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan
Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat
II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.
Silsilah Keluarga
Nama
asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekik dari Surabaya.
Amangkurat
II memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III).
Konon, menurut Babad Tanah Jawi ibu Amangkurat III mengguna-guna semua madunya sehingga mandul.
Perselisihan Masa Muda
Mas
Rahmat dibesarkan di Surabaya. Ia kemudian pindah ke istana Plered sebagai Adipati Anom. Namun hubungannya dengan adiknya yang
bergelar Pangeran Singasari buruk. Terdengar pula kabar kalau jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Singasari.
Pada
tahun 1661 Mas Rahmat memberontak didukung para tokoh yang tidak suka pada
pemerintahan Amangkurat I. Pemberontakan kecil itu dapat dipadamkan.
Para pendukung Mas Rahmat ditumpas semua. Namun, Amangkurat I sendiri gagal saat mencoba meracun Mas Rahmat
tahun 1663. Hubungan ayah dan anak itu semakin tegang.
Pada
tahun 1668 Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, gadis Surabaya yang hendak dijadikan selir ayahnya. Pangeran Pekik nekad
menculik Rara Oyi untuk dinikahkan dengan Mas Rahmat. Akibatnya, Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga. Mas Rahmat sendiri diampuni
setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Persekutuan dengan Trunajaya
Mas
Rahmat diampuni ayahnya namun juga dipecat dari jabatan Adipati Anom. Jabatan putra mahkota Mataram kemudian diberikan kepada putra yang lain,
yaitu Pangeran Puger.
Pada
tahun 1670 Mas Rahmat meminta bantuan Panembahan Rama, seorang guru spiritual
dari keluarga Kajoran. Panembahan Rama memperkenalkan bekas menantunya, bernama
Trunajaya dari Madura sebagai alat pemberontakan Mas Rahmat.
Pada
tahun 1674 datang kaum pelarian dari Makasar yang ditolak Amangkurat I saat meminta sebidang tanah di Mataram. Diam-diam Mas Rahmat memberi mereka tanah di
desa Demung, dekat Besuki. Mereka kemudian bergabung dalam pemberontakan Trunajaya.
Kekuatan
Trunajaya semakin
besar dan sulit dikendalikan. Mas Rahmat merasa bimbang dan memilih berada di
pihak ayahnya. Ia kembali menjadi putra mahkota, karena Pangeran Puger sendiri berasal dari keluarga Kajoran
(pendukung pemberontak).
Akhirnya,
pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya menyerbu istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat,
sedangkan istana dipertahankan oleh Pangeran Puger sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran
mendukung Trunajaya. Namun Pangeran Puger sendiri
akhirnya terusir ke desa Kajenar.
Persekutuan dengan VOC
Amangkurat I meninggal dalam perjalanan pada 13 Juli 1677.
Menurut Babad Tanah Jawi, minumannya telah diracun oleh Mas Rahmat.
Meskipun demikian, Mas Rahmat tetap ditunjuk sebagai raja selanjutnya, tapi
disertai kutukan bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja kecuali satu
orang dan itu pun hanya sebentar.
Mas
Rahmat disambut baik oleh Martalaya bupati Tegal. Ia sendiri memilih pergi haji daripada menghadapi Trunajaya. Tiba-tiba keinginannya tersebut batal, konon
karena wahyu keprabon berpindah padanya. Mas Rahmat pun menjalankan wasiat
ayahnya supaya bekerja sama dengan VOC.
Pada
bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
Mas
Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan
bantuan VOC, ia
berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan
menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
Membangun Istana Kartasura
Pada
bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta
karena istana Plered
diduduki adiknya, yaitu Pangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.
Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered setelah kota itu ditinggalkan Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II
karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukan Mas Rahmat (kakaknya)
melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar.
Perang
antara Plered dan Kartasura meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi
menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November
1681 Pangeran Puger
menyerah kalah.
Babad Tanah Jawi menyebut Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerusnya.
Sikap Amangkurat II terhadap VOC
Amangkurat
II dikisahkan sebagai raja berhati lemah yang mudah dipengaruhi. Pangeran Puger
adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Ia naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang atas biaya perang sebesar 2,5
juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil
menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut.
Pada
tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran.
Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan.
Pada
tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati
diberinya tempat tinggal di desa Babirong untuk menyusun kekuatan.
Bulan
Februari 1686 Kapten François Tack tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Pertempuran terjadi. Pasukan Untung Suropati
menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh
pasukan Untung Suropati
Amangkurat
II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa
menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan adiknya yang bernama
Anggawangsa alias Adipati Jangrana.
Akhir Kehidupan Amangkurat II
Sikap
Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar. Pihak VOC menemukan surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan bangsa Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi Belanda. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapten Jonker tahun 1689.
Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri
berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan.
Amangkurat
II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan
takhta Kartasura antara
putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Raden
Mas Sutikna.
Menurut Babad Tanah Jawi, ia adalah putra Amangkurat II
satu-satunya karena ibunya telah mengguna-guna istri ayahnya yang lain sehingga
mandul. Mas Sutikna juga dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
Dikisahkan pula bahwa Mas Sutikna berwatak buruk,
mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan. Ketika menjabat
sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu
Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena
berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna,
sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya
sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
Perselisihan
dengan Pangeran Puger
Amangkurat III naik takhta di Kartasura
menggantikan Amangkurat II yang meninggal tahun 1702.
Konon, menurut Babad Tanah Jawi, sebenarnya wahyu keprabon jatuh kepada Pangeran Puger.
Dukungan terhadap Pangeran Puger
pun mengalir dari para pejabat yang tidak menyukai pemerintahan raja baru
tersebut. Hal ini membuat Amangkurat III resah. Ia menceraikan Raden Ayu Himpun
dan mengangkat permaisuri baru, seorang gadis dari desa Onje.
Tekanan terhadap keluarganya membuat Raden
Suryokusumo (putra Pangeran Puger) memberontak. Amangkurat III yang ketakutan
segera mengurung Pangeran Puger sekeluarga. Mereka kemudian dibebaskan kembali
atas bujukan Patih Sumabrata.
Dukungan terhadap Pangeran Puger
untuk merebut takhta kembali mengalir. Akhirnya, pada tahun 1704,
Amangkurat III mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Puger
sekeluarga, namun sasarannya itu lebih dulu melarikan diri ke Semarang.
Meninggalkan
Kartasura
Pangeran Puger
di Semarang
mendapat dukungan VOC,
tentu saja dengan syarat-syarat yang menguntungkan Belanda.
Ia pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Pakubuwana I.
Gabungan pasukannya bergerak tahun 1705
untuk merebut Kartasura. Amangkurat III membangun pertahanan di Ungaran
dipimpin Pangeran Arya Mataram, pamannya, yang diam-diam ternyata mendukung Pakubuwana I.
Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III
supaya meninggalkan Kartasura. Ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I,
yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
Pemerintahan Amangkurat III yang singkat ini
merupakan kutukan Amangkurat I terhadap Amangkurat II
yang telah meracuni minumannya ketika melarikan diri saat Kesultanan Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunajaya
tahun 1677
silam.
Konon, Amangkurat II
dikutuk bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang
(Amangkurat III) dan itu pun hanya sebentar. Kisah pengutukan ini terdapat
dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa pemerintahan raja
keturunan Pakubuwana I sehingga kebenarannya sulit dibuktikan.
Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo
sambil membawa semua pusaka keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati
Martowongso hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo
memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun.
Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri.
Untung Suropati
bupati Pasuruan
yang anti VOC
segera mengirim bantuan untuk melindungi Amangkurat III. Gabungan pasukan Kartasura,
VOC,
Madura,
dan Surabaya
bergerak menyerbu Pasuruan
tahun 1706.
Dalam pertempuran di Bangil,
Untung Suropati tewas. Putra-putranya kemudian bergabung dengan
Amangkurat III di Malang.
Sepanjang tahun 1707
Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I.
Dari Malang
ia pindah ke Blitar,
kemudian ke Kediri,
akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya
tahun 1708.
Pembuangan
ke Sri Lanka
Pangeran Blitar,
putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya
meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak.
Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
VOC
kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia.
Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka.
Amangkurat III akhirnya meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka.
Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa
yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga
di Kadilangu, Demak.
Catatan
Para sejarawan menyebut adanya tiga perang besar
memperebutkan takhta di antara keturunan Sultan Agung,
yang disebut dengan nama Perang Suksesi Jawa atau Perang Takhta, yaitu:
·
Perang
Suksesi Jawa II (1719–1723),
antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.
·
Perang
Suksesi Jawa III (1747–1757),
antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwana III
melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.
Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I
- Kartasura
Pangeran Puger dalam sejarah Kesultanan Mataram merujuk pada
beberapa nama, yang terkenal antara lain, putra Panembahan Senopati dan putra
Amangkurat I. Kedua tokoh ini hidup pada zaman yang berbeda.
Pangeran Puger yang kedua (putra Amangkurat I) naik takhta menjadi
raja Kasunanan Kartasura tahun 1704-1719, bergelar Sunan Pakubuwana I.
Nama aslinya Raden Mas Drajat, lahir dari permaisuri keturunan Keluarga Kajoran.
Mas Drajat pernah diangkat menjadi putra mahkota menggantikan
kakaknya, yaitu Mas Rahmat yang berselisih dengan ayah mereka (Amangkurat I).
Namun jabatan tersebut kemudian dikembalikan lagi pada Mas Rahmat karena
Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunojoyo. Mas Rahmat kembali bergelar
Pangeran Adipati Anom, sedangkan Mas Drajat kembali bergelar Pangeran Puger.
Ketika terjadi serbuan Trunojoyo tahun 1677, Adipati Anom menolak
ditugasi ayahnya mempertahankan Plered, ibu kota Mataram, dan memilih ikut
mengungsi ke barat. Pangeran Puger tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti
kalau tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo. Namun kekuatan kaum
pemberontak terlalu besar sehingga Puger kalah dan menyingkir ke Jenar.
Pangeran Puger kemudian mendirikan Kerajaan Purwakanda berpusat di
Jenar. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah
Trunojoyo kembali ke markasnya di Kediri, Sunan Ingalaga segera merebut Plered
dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu.Amangkurat I
meninggal dalam pengungsian. Adipati Anom menjadi raja tanpa takhta bergelar
Amangkurat II. Dengan bantuan VOC, pasukan Amangkurat II berhasil menumpas
Trunojoyo akhir tahun 1679.
Karena Plered diduduki Sunan Ingalaga, Amangkurat II memilih
membangun keraton baru bernama Kartasura pada bulan September 1680. Ia kemudian
memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung di Kartasura.
Ajakan itu ditolak. Maka terjadilah perang saudara. Akhirnya, pada
tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, pemimpin
pasukan VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar
Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II.
Antara kedua bersaudara, Amangkurat II dan Pangeran Puger, terdapat
perbedaan sifat yang mencolok. Amangkurat II dikisahkan bersifat lemah hati dan
tidak teguh pendirian. Sebaliknya, Pangeran Puger jauh lebih tegas. Itulah
sebabnya Pangeran Puger diangkat sebagai tangan kanan Amangkurat II dan lebih
berperan penting dalam pemerintahan daripada kakaknya, yang hanya bersifat
sebagai simbol.Amangkurat II naik takhta berkat bantuan VOC, tentu saja dengan
perjanjian yang memberatkan Kartasura. Ketika keadaan sudah aman, Patih
Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian.
Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung
Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkap si pelarian.
Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Namun diam-diam, ia juga menugasi
Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati.
Dalam pertempuran sengit di sekitar keraton Kartasura bulan
Februari 1686, tentara VOC sebanyak 75 orang tewas ditumpas pasukan Untung
Suropati. Pangeran Puger sendiri berhasil membunuh Kapten Tack menggunakan
tombak Kyai Plered.
Amangkurat II meninggal dunia tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke
tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika
Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya
"berdiri". Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini
sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, diyakini akan
menjadi raja tanah Jawa. Pangeran Puger menghisap sinar tersebut tanpa ada
seorang pun yang melihat.
Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena
banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Suasana antara paman
dan keponakan tersebut memanas. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah
ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak.
Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim
pasukan untuk membinasakan keluarga Puger. Namun Pangeran Puger dan para
pengikutnya lebih dulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah
Adipati Jangrana bupati Surabaya. Adipati Jangrana sendiri sebenarnya memihak
Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara.
Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara menjadi perantara
Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara
berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack serta
menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan
perjanjian yang menguntungkan pihak VOC.
Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger
antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.
Pada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja
bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin
Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau disingkat Pakubuwana I.
Setahun kemudian (1705) Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC,
Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan
Kartasura yang menghadang dipimpin Arya Mataram, adik Pakubuwana I sendiri.
Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedang
ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I
tanggal 17 September 1705.Pemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian
baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang ditandatangani
Amangkurat II. Perjanjian lama yang telah dibatalkan berisi kewajiban Kartasura
untuk melunasi biaya perang Trunojoyo sebesar 4,5 juta gulden. Sedangkan
perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton beras
setiap tahun selama 25 tahun.
Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar
Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam perang itu, Untung Surapati
yang sudah menjadi bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III sendiri akhirnya
menyerah di Surabaya tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke Srilanka.
Pada tahun 1709 Paku Buwana I terpaksa menghukum mati Adipati
Jangrana bupati Surabaya yang telah membantunya naik takhta. Penyebabnya ialah,
pihak VOC menemukan bukti kalau Adipati Jangrana berkhianat dalam perang melawan
Untung Surapati tahun 1706.
Adipati Jangrana digantikan adiknya, bernama Jayapuspita sebagai
bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura dan
menyusun pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan pasukan Kartasura dan VOC menyerbu
Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan
daripada perang di Pasuruan dulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke
Mojokerto tahun 1718.Paku Buwana I meninggal dunia tahun 1719. Yang
menggantikan sebagai raja selanjutnya adalah putranya, yang bergelar Amangkurat
IV.
Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada
pemberontakan saudara-saudaranya, antara lain Pangeran Blitar dan Pangeran
Dipanegara Madiun.Salah Seorang anak Amangkurat IV kelak bergelar Hamengkubuwana
I,Sultan Yogyakarta.
Masa
Berdirinya Surakarta
Kota
Solo memiliki sejarah panjang. Solo merupakan kota yang secara umur lebih tua
daripada Yogyakarta. Solo atau Surakarta bisa dibilang berdiri sejak
didirikannya Kasunanan Surakarta yang rajanya bergelar Pakubuwana (Pakubuwono).
Dasarnya adalah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian Giyanti
menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan
rajanya Pakubuwono III. Pakubuwono I dan II dianggap bukan Raja Kasunanan
Surakarta, tetapi raja Mataram (Kartasura). Surakarta sendiri merupakan
kebalikan kata dari Karta-Sura.
Akibat
dari Perjanjian Giyanti, Surakarta punya raja Pakubuwono sementara Yogyakarta
yang dijadikan pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, punya raja bernama
Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Pembangunan keraton dan kota
Yogyakarta mengikuti pola tata kota yang sama persis dengan Surakarta yang
lebih dulu dibangun.
Meskipun
Sultan pertama Surakarta adalah Pakubuwono III, tapi tak salah jika kuceritakan
juga tentang Pakubuwono I dan II. Awalnya, gelar Pakubuwana adalah sebuah gelar
yang diperoleh Raden Mas Derajat yang setelah dewasa bergelar Pangeran Puger.
Ia merupakan putra Amangkurat I. Gelar ini kemudian diteruskan ke
keturunan-keturunannya hingga yang saat ini, Pakubuwana XIII. Amangkurat I sendiri
merupakan putera Sultan Agung Hanyokrokusumo (Pahlawan Nasional). Amangkurat I
adalah Raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari Ratu Wetan atau
permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang
keluarga keturunan Kesultanan Pajang.
Kembali
kepada Pakubuwono I, dia berstatus raja ketiga Kasunanan Kartasura (sebelum
pindah ke Surakarta) yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana
I. Ia memerintah pada tahun 1704 – 1719. Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan
tokoh ini sebagai raja agung yang bijaksana.
Pakubuwono
I memperoleh kekuasaan sebagai raja atau sultan di Kasultanan Kartasura setelah
berhasil merebutnya dari Amangkurat III. Amangkurat III merupakan anak dari
Amangkurat II. Sementara Amangkurat II merupakan adik Amangkurat I atau paman
Pakubuwono I. Pada saat itu, Pakubuwono (PB) I dibantu oleh gabungan pasukan
VOC, Semarang, Madura, dan Surabaya.
Ketika
berhasil menjadi Raja, ia bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga
Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa.
Sepeninggal
PB I, Raja Kartasura kemudian dipimpin oleh anak PB I yang bergelar Amangkurat
IV. Nama asli Amangkurat IV adalah Raden Mas Suryaputra, yang lahir dari
permaisuri Ratu Mas Blitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan
Senopati dengan Retno Dumilah putri Madiun).
Pada
masa Amangkurat IV inilah Kartasura diliputi banyak pertempuran dan
pemberontakan dalam rangka perebutan tahta dan kuasa Kartasura. Singkat cerita,
Amangkurat IV akhirnya meninggal setelah diracun.
Tahta
Kartasura kemudian dilanjutkan anaknya yang bergelar PB II. Ketika naik tahta,
ia masih berumur 15 tahun, seumuran anak kelas 1 SMA-lah. Nama aslinya adalah
Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV dari permaisuri keturunan Sunan
Kudus. Karena masih sangat muda, wajar jika beberapa tokoh istana bersaing
untuk menguasainya. Para pejabat Kartasura pun terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu
suri), dan golongan anti VOC dipelopori Patih Cakrajaya.
Tokoh
penting lain adalah Arya Mangkunegara kakak Pakubuwana II (lain ibu) yang
sebelumnya juga sempat ingin merebut tahta, namun menyerah dan diampuni ayahnya
(Amangkurat IV). Karena dianggap menggangu Patih Cakrajaya, tahun 1728
Cakrajaya berhasil menjebaknya seolah ia berselingkuh dengan istri PB II. Atas
desakan Pakubuwana II, VOC terpaksa membuang Arya Mangkunegara ke Srilangka,
kemudian ke Tanjung Harapan.
Di masa
PB II inilah proses perpindahan kerajaan dari Kartasura ke Surakarta. Selama
bertahta, PB II juga masih sering menghadapi pemberontakan-pemberontakan mulai
dari alasan perebutan tahta dan lainnya.
Ketika
istana sudah dipindahkan ke Surakarta, pemberontakan yang masih bergejolak
adalah pemberontakan kaum Cina. Untuk menuntaskan sisa-sisa pemberontakan
tersebut, PB II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja
yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said (pimpinan pemberontak
Cina).
Pangeran
Mangkubumi, adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Padahal,
Pangeran Mangkubumi sebelumnya juga ikut mendukung pemberontakan Cina.
Karena
yang memenangkan adalah Pangeran Mangkubumi, para saingan politiknya pun
mencari cara untuk menggagalkan hadiah tanah tersebut. Sampai-sampai, muncul
Baron van Imhoff (Gubernur jenderal VOC) yang memperkeruh suasana. Ia datang ke
Surakarta mendesak PB II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga
20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah
pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Pangeran
Mangkubumi yang sakit hati kemudian meninggalkan Surakarta untuk bergabung
dengan Mas Said sejak Mei 1746. Perang yang sebelumnya hampir padam kembali
meletus. Para sejarawan menyebutnya sebagai Perang Suksesi Jawa Ketiga (ini terjadi sekitar tahun 1747 s/d 1757)
Di
tengah panasnya suasana perang, PB II jatuh sakit akhir tahun 1749. Baron von
Hohendorff, kawan lamanya yang ketika itu menjabat gubernur pesisir Jawa bagian
timur laut, tiba di Surakarta sebagai saksi VOC atas jalannya pergantian raja.
PB II bahkan menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada von
Hohendorff. Inilah saat dimana Mataram benar-benar terpecah belah hanya karena
perebutan kekuasaan. Tentu saja, peran VOC sangat kental dalam hal ini.
Singkat
cerita, perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai titik
awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta ke tangan Belanda. Sejak itu,
hanya VOC-lah yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram (Surakarta,
Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman). Peraturan ini terus berlaku sampai
zaman kemerdekaan Indonesia. PB II akhirnya meninggal dunia akibat sakitnya itu
tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana III.
(Sumber utama:
wikipedia)
Sari uraian sejarah diatas dihubungkan dengan
ceritera rakyat, pernah terjadi jaman Tumenggung Argawijaya mengutus Demang
Cimarilit untuk menghadiri acara Maulid sambil mengantarkan upeti, setelah
kerajaan Mataram dibadi dua yaitu sesudah dibuatnya perjanjian Gianti (1755),
maka penulis memperkirakan Tumenggung Argawijaya memerintah sekitar tahun
1755-1800.
b.
Kesultanan Cirebon
Dalam
buku karya RH. Unang Sunaryo SH. Dengan judul MENINJAU
SEPINTAS SEJARAH PEMERINTAH CIREBON dan buku sejarah masuknya Islam jilid IV karya HAMKA menceriterakan
sebagai berikut :
Pangeran
Giri Laya beserta kedua anaknya Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di
Mataram (diamankan/ditahan) hamper selama 12 tahun. Pangeran Girilaya meninggal
di Yogya. Harta dan anaknya dibebaskan pada saat terjadi pemberontakan
Trunajaya (1755), lalu keduanya dibawa ke Kediri, dari Kediri ke Surabaya terus
dibawa ke Banten, tahun 1677 Pangeran Martawijaya naik tahta sebagai Sultan
Sepuh pertama dengan gelar Raja Samsudin dan Kartawijaya sebagai Sultan Anom,
sedangkan Pangeran Wangsakerta Siltan bungsu pada waktu ayah beserta
kakak-kakaknya ditahan di Yogya, beliau adalah sebagai pejabat Sultan di
Cirebon. Pada saat kedua kakaknya dinobatkan, Pangeran Wangsakerta sementara
tinggal dengan Sultan Sepuh di komplek Keraton Pakungwali, sedang menurut HAMKA
Pangeran Wangsakerta setelah kedua Kakaknya dinobatkan beliau pergi ke Banten.
Tanggal 23 Januari 1681 dibuat perjanjian persahabatan antara Sultan-sultan di
Cirebon dengan VOC, perjanjian ini terjadi karena Cirebon merasa terganggu oleh
gangguan keamanan yang dilakukan oleh pasukan Banten, hal ini terungkap dalam
catatan harian VOC yang dikurip Drs. S. Edi Eka Jati dan dikutip lagi oleh RH.
Unang Sunaryo SH., perjanjian ini yang jadi permulaan secara resmi VOC
menggenggam Kesultanan Cirebon.
Tanggal
2 Pebruari 1809 dibawah kekuasaan Gubernur Hindia Belanda dikeluarkan peraturan
mengenai Tanah-tanah Cirebon dan para Sultan jadi pegawai Belanda dengan
Pangkat dan Jabatan Bupati dan Wedana. Peraturan ini diteruskan pelaksanaannya
oleh Rafless pada tahun 1811, karena pada bulan Oktober 1811 Inggris berhasil
merampas koloni kerajaan Belanda tahun 1815 saat kekuasaan Inggris akan berakhir,
ini karena kekuasaan-kekuasaan Sultan makin dikurangi.
Tahun
1815 Kesultanan Cirebon beralih lagi dikuasai oleh Belanda dan mengadakan
penertiban-penertiban pemerintah, diperkirakan saat inilah terjadi
penyerangan-penyerangan ke Tumenggung Cikaso seperti yang diceriterakan dalam
ceritera rakyat yaitu karena Cikaso tidak mau ditaklukkan/ditertibkan oleh
Belanda. Tanggal 5 Januari 1819 dibentuk Kabupaten Kuningan yang dikepalai oleh
seorang Bupati, maka otomatis Ketumenggungan Cikaso pada jaman Tumenggung
Argawijaya sekitar tahun 1825 berakhir.
Bukti
bahwa di Cikaso pernah ada Pemerintahan dengan Kepala Pemerintah bergelar
Tumenggung / Bupati adalah tercatat dalam buku karya Stapford Raffles berjudul
THE HISTORY OF JAVA, Vol II, London 1817 yang dikutip oleh Unang Sunaryo SH
yang menyatakan jumlah penduduk, luas tanah sawah dan tegalan yang termasuk
kesultanan Cirebon yaitu :
Jumlah
penduduk yang termasuk Kesultanan Cirebon tahun 1815 yaitu :
1.
Begawan
2.
Cirebon
3.
Ciamis
4.
Cikaso
5.
Linggarjati
6.
Gebang
|
7.
Losari
8.
Kuningan
9.
Talaga
10. Sindangkasih
11. Rajagaluh
12. Panjalu
|
Dari
12 daerah ini jumlah penduduk terdiri dari penduduk pribumi 213.658 orang dan
penduduk Cina berjumlah 2.343 orang. Adapun luas sawah serta tegalan wilayah
Kesultanan Cirebon tahun 1815 yait sbb :
No.
|
Nama Daerah
|
Luas Sawah
|
Luas Tegalan
|
Ket
|
1.
|
Begawan
|
2.587
|
76
|
|
2.
|
Cirebon
|
1.318
|
113
|
|
3.
|
Ciamis
|
352
|
125
|
|
4.
|
Cikaso
|
873
|
138
|
|
5.
|
Linggarjati
|
429
|
125
|
|
6.
|
Gebang
|
567
|
47
|
|
7.
|
Losari
|
600
|
12
|
|
8.
|
Kuningan
|
801
|
356
|
|
9.
|
Talaga
|
338
|
670
|
|
10.
|
Sindangkasih
|
459
|
321
|
|
11.
|
Rajagaluh
|
591
|
98
|
|
12.
|
Panjalu
|
265
|
399
|
|
Melihat
data-data tersebut diatas penulis memperkirakan bahwa pendataan jumlah penduduk
dan luas tanah ada hubungannya dengan pihak Belanda dalam rangka pembentukan
daerah-daerah/ pengurangan kekuasaan-kekuasaan pemerintahan pribumi dimana
untuk selanjutnya penunjukan Bupati dan Wedana ditunjuk oleh Gubernur Hindia
Belanda.
Dari
uraian buku History of Java daerah-daerah yang berada dibawah Kesultanan
Cirebon, saat ini (1990) meliputi 4 (empat) Kabupaten yaitu :
1.
Kabupaten Cirebon :
Cirebon, Bengawan, Gebang dan Losari
2.
Kabupaten Kuningan :
Cikaso, Kuningan dan Linggarjati
3.
Kabupaten Ciamis :
Ciamis dan Panjalu
4.
Kabupaten Majalengka :
Talaga, Sindangkasih dan Rajagaluh.
Daerah-daerah inilah yang terkena peraturan Belanda dimana daerah
kekuasaannya dipersempit yaitu dari 12 (duabelas) daerah menjadi 4 (empat)
Kabupaten. Khusus untuk daerah Ciamis yang diceriterakan dalm buku History of
Java yang masuk Kesultanan Cirebon adalah sebagian dari Ciamis karena pada
waktu itu (tahun 1811) Kabupten Ciamis ada 1 (tiga) yaitu Galuh Imbana, Galuh
Ciamis dan Galuh Utama dan yang masuk Kesultanan Cirebon adalah Galuh Ciamis
tapi akhirnya disatukan jadi Kabupaten Galuh, juga termasuk Panjalu.(Buku
Cerita Dipati Ukur, Karya S. Ekajati)
3.
Perkembangan
Pemerintahan di Cikaso
Tumengging Cikaso yang bergelar Tumenggung Argawijaya adalah putera
Dalem Indrawana, sebutan Dalem bagi seorang kepala pemerintahan menurut
riwayatsingakat sejarah kuningan adalah sekitar tahun 1700, seperti penulis uraikan
pada ceritera terdahulu setelah dalem Indrawana wafat diganti oleh puteranya
yang bergelar Tumenggung. Tumenggung membawahi beberapa wilayah kedemangan dan
Tumenggung Cikaso membawahi 17 kademangan diantaranya adalah Demang Cimarilit,
Demang Sastrawerdaya, Demang Ragawacana, Demang Wirangga dan Demang
Nipitrawira. Yang menjadi Patihnya adalah Patih Nagareja sebagi bendahara
adalah ngabei silih (dimakamkan didesa Dukuhbadag Kecamatan Cibingbin).
Bertindak sebagai penasihat adalah Imbakerti
Seorang tua yang bijaksana dan dalam ilmunya, Imbakerti mempunyai
seorang sahabat yang bernama Pangeran Nipibaya dari Kuningan, yang menjadi
tangan kanan Pemerintahan selain Patih Nagareja juga Demang Cimarilit dan Buyut
Timbang, yang menjadi pemimpin agama (Ulama) kiyai Moh. Arif suami Eyang
Mu`minah puteri Eyang Hasan Maulani dari Lengkong.
Adapun leluhur-leluhur Cikaso (anu ngageugeuh) yaitu Buyut
Sukadana, Buyut Macsandaru, Buyut
Punduh, Nyi Mas Andayansari dan Nyi Mas Andayanasri. Setingkat dibawah Demang
yang menjadi Kepala Pemerintahan adalah Kuwu. Ketumenggungan di Cikaso tidak
berlangsung lama karena sekitar tahun 1809 Pemerintah Belanda mengadakan
peraturan-peraturan untuk mengurangi / menyederhanakan system pemerintahan
dengan mengurangi penguasa-penguasa pribumi. Adapun wilayah Ketumenggungan
Cikaso saat itu meliputi Desa Cikaso, Karangmangu, Nanggerang, Kramatmulya,
Kalapagunung, Cilowa dan Bojong, mungkin termasuk pula Ragawacana karena ada
Demang Ragawacana.
Setelah Pemerintahan Tumenggung berakhir penggantinya adalah Kuwu,
maka Kepala-kepala Pemerintahan di Cikaso secara sistematis dapat diuraikan
sebagai berikut :
1.
Dalem Indrawana Sekitar
tahun 1775
2.
Tumenggung Argawijaya sekitar
tahun 1200
3.
Kuwu Wiradijaya -
4.
Kuwu Indrakawaca -
5.
Kuwu Argawijaya (Kuwu Bodas) -
6.
Kuwu Jajar -
7.
Kuwu Sajum -
8.
Kuwu Wariasantana (Kuwu Barak) Tahun
1923 – 1926
9.
Kuwu Umar Wijaya Tahun
1926 – 1929
10.
Kuwu Manah Prawiradiredja Tahun
1928 – 1948
11.
Kuwu Bagenda Sastrawinata Tahun
1949 – 1967
12.
Kuwu Memen Suherman Tahun
1967 – 1980
13.
Kuwu Ashadi Tahun
1980 – 1988
14.
Kuwu Een Juhendi Tahun
1988 – 19
15.
Kuwu Soleh Tahun
19
16.
Kuwu H. Sarkosi Tahun
19
17.
Kuwu H. Jabidi Raharja Tahun
2007
Tahun-tahun pemerintahan dari mulai Kuwu Wiradijaya sampai Kuwu
Sajum tidak diketahui pasti, akan tetapi bisa diperkirakan bahwa rata-rata
pemerintah antara 10 – 15 tahun karena sebanyak 5 Kuwu melewati kurun waktu 75
s/d 80 tahun, waktu itu belum ada pembatasan lamanya jabatan Kuwu (Kepala Desa)
termasuk sampai sesudah Perang Kemerdekaan, dimana Bapak Kuwu Bagenda
Sastrawinata memerintah selama 19 tahun.
Dimasa Kuwu ke 14 sampai dengan memasuki Kuwu ke 17 ada masa-masa
kosong. Masa-masa tersebut diisi (dijabat) oleh Pejabat Sementara (PJS) antara
lain :
1.
Tahun…………..s/d ………. Oleh
:…………..
2.
Tahun…………..s/d ………. Oleh
:…………..
3.
Tahun…………..s/d ………. Oleh
:…………..
4.
Tahun…………..s/d ………. Oleh
:…………..
Memasuki jaman Orde Baru Lembaga Pemerintahan Desa di tata
sedemikian rupa, sehingga selain perangkat pemerintah ada pula Lembaga /
Organisasi di Desa seperti BPMD, LSD yang kemudian disebut LKMD dan LMD dan
sesuai perkembangan waktu berubah lagi namanya menjadi BPD dan PLM, ada pula
lembaga yang melaksanakan pembinaan keagamaan yaitu Majelis Ulama serta
ada pula Linmas (Perlindungan
Masyarakat) yang sebelumnya bernama Hansip (Pertahanan Sipil) dan sebelum itu
bernama OKD dan OPR
BAB
III
MASA
PENDUDUKAN JEPANG SAMPAI DENGAN
TERJADINYA
PEMBERONTAKAN G 30 S PKI
1.
Masa Pendudukan
Jepang
Sebelum matahari terbit tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di
Pulau Jawa yaitu pantai Banten, Indramayu dan Rembang. Divisi yang mendarat di
Banten terus menerobos ke Jakarta, Bogor dan Banten. Koloni yang mendarat di
Indramayu dengan cepat merebut lapangan terbang Kalijati, yang mendarat di
Rembang 1 koloni ke Jawa Tengah merebut Semarang, Magelang, Solo dan Yogya.
Tanggal 8 Maret 1942 Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda Van
Starkenbargh menandatangani kapitulasi di Jakarta dan ini berarti berakhirnya
kekuasaan Belanda di Indonesia dan untuk selanjutnya memasuki babak jaman penjajahan
Jepang.
Awal tahun 1943 strategi jepang dirubah tidak lagi menyerang tapi
mempertahankan wilayah di Indonesia dengan dibentuknya Seinen Dodjo (Tempat
latihan pemuda) di Tangerang.
Dibentuk pula beberapa organisasi militer diantaranya KEIBODAN (Barisan
Bantuan Polisi, SEINENDAN (Barisan Pemuda). Dilaksanakan pula pengerahan tenaga
HEIHO (Pembantu Sertdadu) yang semula sebagai tenaga kerja kasar tapi kemudian
dipakai pula tugas-tugas bersenjata.
Atas usul Gatot Mangkupraja pada tanggal 3 Oktober 1943 oleh Letnan
Jenderal Kumeciki Harada dibentuk tentara PETA dengan 3 macam pangkat, yaitu
Daidanco (setingkat battalion) Cudanco (setingkat kompi), Syudanco (setingkat
peleton), Budanco (regu) dan Prajurit disebut Sijuhci.
Awal tahun 1944 mulailah dibentuk Daidan-daidan tentara diseluruh
pulau Jawa dan Madura. Disamping tentara biasa dibentuk pula pasukan Gerilya
Istimewa Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Pasukan dengan uniform biru dan
tidak digundul.
Dikerahkan pula Romusha untuk untuk
membangun sarana dan prasarana dalam rangka persiapan perang. Para Romusha
disanjung-sanjung sebagai Pahlawan pekerja padahal dalam prakteknya
diperlakukan sebagai budak belian. Kesengsaraan rakyat pada jaman Jepang sudah
tidak terperikan lagi, padi dibeli dengan paksa oleh Kumiai-kumiai (organisasi
pembelian padi), dimana Kumiai-kumiai membeli padi melebihi dari jatah yang
seharusnya yaitu 1/5 bagian dari hasil panen.
Orang-orang yang jadi alat Jepang hidup makmur dikenal istilah
KUSUKEIKO Kusukeiko adalah bahasa Jepang yang artinya bahaya udara, kalau ada
tanda Kusukeiko, lampu dipadamkan keadaan jadi gelap gulita, maka istilah
Kusukeiko adalah main gelap-gelapan.
Keadaan cikaso itu sendiri tidak terlepas dari situasi umum yang
ada di wilayah Indonesia ,beberapa kejadian pada jaman jepang yaitu;
1. Suatu waktu (awal penjajahan jepang) dating ke Cikaso satu dua
orang jepang menyuruh mengumpulkan masyarakat Desa Cikaso.Memberikan penjelasan
penjelasan pentingnya penanaman Jarak dan Kapas,sebagai juru bahasa adalah
Kuwu,setelah itu masyarakat menebangi pohon kamboja ditanah pekuburan dan
ditanam dengan Jarak,begitu pula halaman-halaman rumah,Tapi tanaman ini ti dak
keburu dipanen karena Jepang kalah, sampai saat ini tanah pekuburan tersebut
tidak ditanami lagi.
2. Datang pula anjuran Jepang untuk mengumpulkan bahan makanan yang
ternyata dalam pelaksanaanya menyimpang dari ketentuan dimana seharusnya 1/5
bagian dari hasil panen harus semua,lebih tragis lagi ada masyarakat harus
menambah dari jumlah hasil panen dan ini mungkin praktek penyimpangan dari
Kumiai-Kumiai.
3. Dianjurkan pula untuk mengumpulkan alat alat dari
senjata-senjata tajam, tombak, peang, keris dan pagar-pagar besi dicabuti. tapi
ada pula yang aneh yaitu menganjurkan mesin jahit pun harus dijual ke
Jepang,tentu saja inipun merupakan penyimpangan.
4. Dikerahkan pula masyarakat untuk kerja paksa,gelombang demi
gelombang dari Cikaso dikirim ke Beusi,ke Pantai Cirebon,dan Citangtu.Dalam
pelaksanaanya ada yang berangkat melaksanakan perintah tapi ada pula yang
member upah pada yang lain.
Pengalaman salah seorang yang dikirim ke Beusi memberikan
penjelasannya sebagai berikut;
·
Suatu waktu (antara tahun 1942-1943) dari Cikaso diberangkakan
sebanyak 20 orang untuk ke Beusi,dari berbagai Desa dikumpulkan di Balai Desa
Kuningan (sebelah selatan Mesjid Kuningan),jam 24.00 (jam 12 malam) rombongan
disuruh berangkat dbagi uang sebanyak
50 sen beserta tudung (dudukuy) perjalanan memakai route
Kuningan-Cilimus-Mandirancan-Rajagaluh (menginap di Rajagaluh) besoknya
meneruskan perjalanan ke Majalengka-Kadipaten terus ke Beusi.tugas an
dilaksanakan adalah menggali pasir,membuat perlndungan dan Hanggar Kapal
Terbang,lamanyadi Beusi sampai 3 bulan.
5. Dikerahkan pula Romusha ke Luar Negri yaitu ke Singapura
(Sunanto). Gelombang
pertama berangkat sekitar bulan Agustus 1945, terdiri dari bapak
Yusa,Carsim,Sarkib,Sarpi dan bapak Nasuha dari Karangmangu,semua ini berangkat
karena ada tugas dari Desa,ada pula yang berangkat secara sukarela,yaitu Bapak
Jusa dan Bapak Sani,keberangkatannya 5 bulan kemudian sesudah gelombang
pertama.
Tugas utama para Romusha yaitu membuat pelampung-pelampung
ranjau.menggali pasir dan membuat perlindungan,rombongan pertama berada di
Singaura + 24 bulan dan rombongan kedua setelah 19 bulan.
Di Singapura para Romusha dari Cikaso bertemu pula dengan Bapak
Said yangkebetulan dari Cikaso dan jadi pimpinan di Singapura atau disebut oleh
para Romusha sebagai Daidanco.
Tanggal 14 Agustus
1945 Kota Hirosima dan Nagasaki di Bom,Jepang menyerah tanpa syarat dan pada
ahir bulan Agustus 1945 seluruh Romusha di pulangkan lagi ke daerah
asalnya,termasuk rombongan dari Cikaso,dibawa pulang dengan kapal laut dan
mendarat di Tanjung Priok,lalu pulang masing-masing kedaerah asalnya.
Yang jadi korban semasa Romusha yaitu Bapak Sarkib meninggal di
Singapura karena sakit,sedangkan Bapak Yusaikut dengan rombongan pulang ke
Cikaso.tapi sekitar bulan Agustus 1946 pulang lagi ke daerah Jawa Timur
bergabung dengan rekan-rekannya waktu jadi Romusha di Singapura.
Bulan Agustus 1947
Bapak Yusa kembali ke Cikaso(waktu itu penulis baru lahir) selanjutnya
mengambil perbekalan beras dari gudang di Ciloa dan pada waktu pulang ke
pelabuhan Cirebon diantar oleh adiknya sampai ke pelabuhan Cirebon.Baru pada
tahun 1948 saat Maguwo diserang oleh pasukan Belanda ada berita melalui surat
yang dikirim ke Cikaso bahwa ia sakit di Rumah Sakit Jombang dan itu merupakan
berita terahir,karena sampai saat ini tidak ada kabar beritanya lagi.
6. Ada pula yang jadi Heiho yaitu Bapak Apda dan Bapak Sastramarka.
Demikianlah sekilas
pintas gambaran penjajahan Jepang di Desa Cikaso,yang jelas masyarakat cukup
menderita kekurangan sandang,pangan,harta benda dan tenaga diperas
habis-habisan.tidak aneh pula bila setiap harinya hanya makan apa adanya
seperti Bonggol Cau(Pisang),Pepaa muda,sampai daun katuk pun habis
dimakan.adapun yang menjadi korban pada masa pendudukan Jepang yaitu Bapak
Sarkib meninggal di Sunanto(Singapura),dan Bapak Yusa yang hilang tak kembali.
2.
MASA REVOLUSI
Gema Proklamasi yang di bacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta
gaungnya tidak hanya di kota-kota saja,tapi menembus keseluruh pelosok tanah
air Indonesia,ke desa-desa dank e kampong-kampung di sambut dengan penuh
kegembiraan dan harapan oleh seluruh rakyat Indonesia.tak ketinggalan
masyarakat Desa Cikaso menyambut gembira Proklamasi Kemerdekaan,tanda
kegembiraan ini dibuktikan dengan kesiapsiagaan seluruh masyarakat untuk
menjaga kemerdekaan dengan langkah pembentukan Serikat Keamanan Rakyat
(SKR)yang mempunyai tugas mengawasi situasi yang ada,menggerakan
masyarakatuntuk menjaga keamanan,khususnya dari gangguan penjajah.Serikat
Keamanan Rakyat ini di koordinir oleh para Pamon Desa dan tokoh-tokoh pemuda
diantaranya Bapak Yaman,Bapak Abu Bakar dan Bapak Suparma dengan anggota hamper
melibatkan seluruh masyarakat terutama para pemuda.
Sebelum menceriterakan lebih lanjut keadaan dan peristiwaperistiwa
di Cikaso pada masa revolusi,penulis terlebih dahulu akan menceritakan keadaan
situasi umum,keadaan lascar dan tentarayang berada di daerah Kabupaten Kuningan
terutama setelah mereka kembeli dari Yogyakarta.
Ada beberapa nama pimpinan tentara dan laskar yang sering
disebut-sebut para bekas pejuang di Cikaso pada saat menceritakan
pengalamannya,diantaranya adalah Mayor Rukman ,Letnan Purnomo,Imam
Hidayat,Kapten Addela,Satro(Sastrosuwiryo).Bunawi,Mahmud Pasha dan
Khamdi.Siapa-siapakah mereka itu,dalam kesatuan mana dan apa kedudukannya/jabatannya?
Untuk menjawab semua ini penulis akan menceritakan/mengisahkan
batalyon Rukman yang menyusup ke Jawa barat dari Yogyakarta,adapun kisah ini
penulis sarikan(diringkas)dari buku sejarah”SILIWANGI DARI MASA KE
MASA’’,adapun inti ceritanya sebagai berikut;
Dengan dilaksanakannya persetujuan RENVLLE pada tanggal 17 januari
1948.Batalyon Rukman dating ke Kuningan
pada tanggal 26 september 1948 jam 17.30, tepatnya di Desa Kadubungkus.Untuk
tidak menyulitkan Pemerintah Republik Indonesia dalam perjuangan
diplomatiknya,maka kode Batalyon (Batalyon I Brigade XIII / Siliwangi) dirubah
menjadi “KESATUAN GERAKAN RAKYAT MERDEKA’’ (KGRM) sedangkan markas yang
dianggap tetap sebagai basis yaitu di desa CIKAHURIPAN.
Didaerah kuningan sebelum pasukan TRI yang hijrah kembali terdapat
pasukan / laskaryang tidak ikut hijrah yang menamakan “Kesatuan Pemberontakan
Rakyat Merdeka”yang disingkat KPRM. Untuk adanya kesatuan dalam
perjuangandiadakanlah perundingan antara KPRM dan KGRM,meskipun mengalami
berbagai kesulitan dari dua belah pihak,dengan pembagian tugas yaitu KGRM
sebagai tugas-tugas tempur dan KPRM sebagai tugas-tugas
territorial.Laskar-laskar KPRMini semula di pegang oleh BUNAWI kemudian diganti
oleh Letnan Mukhayar A.
Susunan stap KGRMpada waktu itu adalah Kapten Adimartapraja,Letnan
Sudirja,Letnan Usman Jatikusumah,Kapten
Mustapa membawahi Cirebon Timur dan Kuningan Timur,lenan moh ilyas
membawahi majalengka barat dan selatan.daatasemen KI machmud pasha menguasai
daerah Cirebon barat,Cirebon utara dan kuningan utara,Kapten sidik membawahi
daerah ujungjaya dan congeang,kapten M.A Sentot membawahi daerah indramayu.
Kepala staf koordinasi KGRM / KPRM oleh mayor Ribut,lalu di tangkap
belanda tanggal 20 Nopember 1948 dan akhirnya menyebrang ke pihak
belanda.Setelah tgl 19 september 1948 pihak belanda melaksanakan serangan ke pihak
RI,maka KGRM menggunakan kode kesatuannya ialah Batalyon I/XII/IV Siliwangi
yang di pimpin tetap oleh Mayor Rukmana merangkap Komandan STC.
Berdasarkan intruksi MBKAD N0 1/MBKAD/48 tanggal 28 september
1948di butuhkan adanya organisasi pemerintah Militer di daerah daerah dan
kabupaten kabupaten,maka di daerah Cirebon di bentuk KDM – KDM ( Komando
distrik Militer) yang komandannya di ambil dari komandan pasukan,sedangkan
Kepala staf di ambil dari pejabat Teritorial sipil dan kelaskaran,adapun staf
STC adalah kepala staf urusan territorial,semula Mayor Adi martapraja,Kepala
bagian umum letnan RA Sutisna,Kepala bagian pertahanan Kapten D Apandi,Kepala
Ekses Letnan Purnomo/Sdr Bede,Kepala bagian khusus Letnan Diponegoro.
Staf urusan tempur di prkuat dengan adanya Kaften Wahyu hegono dan
sbg wakil dari KDM.SPC dalam bidang territorial dan pemerintahan di perkuat
dengan adanya mayor A Gani,Bidang kepolisian,Polisi Militer diperkuat oleh
adanya kapten Adela.
Tokoh tokoh politik di ikut sertakan pula baik di tingkat STC
maupun KDM KDM, di antaranya: Iman hidayat,Ukon,Osa
maliki,Abdurrahman,tjimong,Moh Mihrad,T Moh Ilyas,Wirya,Khapil,Nur
atmadibrata,Niti sasmita,A Bagja,Suarso,Sudjono.KDM Kuningan di jabat oleh
letnan D Sudirja, kemudian bergeser kepada letnan a Sutisna.
Demikianlah sekedar gambaran situasi keadaan di daerah Kuningan dan
penyusupan Batalion Rukman ke Jawa barat.Dalam pengolahan revolusi,terdapat
bentrokan-bentrokan antar kita,antara TRI dengan lascar dan di daerah Kuningan
terjadi bentrokan antara TRI dengan lascar Divisi Bambu Runcing,Adapun kisahnya
seperti di ceritakan dalam buku”MEMENUHI PANGGILAN TUGAS” jilid I karya A Haris
Nasution,adapun isi ceritanya sebagai berikut:
Panglima Besar Sudirman memberikan mandate kepada sutan Akbar dari
lascar rakyat untuk menyusun kekuatan kekuatan di Jawa Barat dengan dasar
pikiran bahwa pimpinan dan tentara yang ada di Jawa Barat dalam keadaan kacau
balau dan untuk itu di bentuk divisi Bambu Runcing.
Laskar Rakyat dibawah Pimpinan Sutan Akbar selain membawa mandate
dari panglima Besar,juga membawa uang dan pasukan dari Yogyakarta,maka dengan
modal ini,Sutan Akbar dalam waktu yang singkat telah dapat menarik
lascar-laskar rakyat ada di bawah piminannya.
Untuk menghindari gesekan gesekan dengan TRI maka KDM Cirebon yang
semula berpusat di Ciwaru di pindahkan ke Cipedes ( Desa saat ini masuk
kecamatan Ciniru).
Semula KMD tak menghiraukan soal Sutan Akbar,tapi setelah terjadi
pembunuhan-pembunuhan terhadap pasukan TRI,perampasan senjata,perampasan uang
beberapa juta dan zender yang di kirimdari Yogya untuk KMD,selain itu dengar
pula bahwa pasukan Machmud Bunawi di tetapkan oleh Sutan Akbar sebagai kesatuan
batalyon mereka dan mengangkatnya sebagai komandan batalyon,maka mulailah KMD
menaruh perhatian.
Untuk menghancurkan pasukan lascar Bambu Runcing,di susunlah suatu
rencana penyerangan ke Obyek Ciwaru untuk menangkap benggolan
benggolannya.Pimpinan Bambu Runcing yang terpenting antara lain Sutan
Akbar,Sastrowiryo,K ahmadi dan maulana.Pasukan Mahmud akhirnya dapat di
kembalikan tentara,tapi sementara pura pura tunduk kepada Sutan Akbar untuk
menggali keterangan keterangan yang jelas.
Tidak diketahui tanggal dan harinya dimulailah serangan terhadap
divisi Bambu Runcing.pasukan Mahmud pasha yang semula dikira memihak Bambu
Runcing,diperintahkan untuk melepaskan diri sehingga moril pasukan bambu
runcing turun sekali,akhirnya mereka dapat di hancurkan.Beberapa pimpinannya
melarikan diri,17 orang difulisir antara lain Sastrosuwiryo dan
maulana,sedangkan sutan Akbar akhirnya tertembak ketika akan terjun ke kali
cisanggarung.dan berahirlah petuangan divisi Bambu Runcing dan peristiwa ini
sering di sebut peristiwa CIWARU.
Dari kisah kisah diatas mak terjawablah siapa-siapa yang sering
disebut oleh para bekas pejuang di cikaso,yaitu:
1.
Mayor Rukman,adalah komandan Batalion I Brigade II Siliwangi yang
hijrah keYogyakarta dan saat kembali pasukannya menetap di kuningan.Mayor
Rukman terlibat G30S/PKI dalam pangkat Mayor Jenral.
2.
Letnan Purnomo,adalah Kepala Pangkat Mayor Jenral.
3.
Imam Hidayat dan A.Bagja,adalah tokoh politik/Sipil yang ditugaskan
di STC/KDM.
4.
Kapten Adela,adalah Komandan Polisi Militer.
5.
Mahmud Pasha,adalah komandan Kompi III Batalyon Rukman.
6.
Khamdi dan Sastrosuwiryo,adalah pimpinan-pimpinan Divisi Bambu
Runcing yang semula tergabung di KPRM.
7.
Osa Maliki terkenal pada saat PNI pecah jadi dua,ada PNI Ali
Surahman (ASU) yang condong ke kiri dan Osa Maliki-Usep Ranwijaya (Osa-Usep).
8.
Moch.Hapil,pernah jadi bupati sumedang Periode 1960-1966 dan
penulis pernah bertemu pada masa KAPI/KAMI.
9.
Usman Jati Kusumah,perah jadi Bupati Kuningan periode 1960-1966.
10. RA. Sutisna,
pernah jadi Buati Cirebon, Residen Wilayah V Cirebon dan saat ini (1990)
anggota DPR Propinsi DT. I Jawa Barat.
11. D.Sudirja,adalah
purnawirawain ABRI menetap di Kuningan.
12. Bunawi,adalah
pimpinan KPRM,juga salah seorang perwira polisi militer.selanjunya jadi tokoh
pada pasukan Bambu Runcing,ahirnya bergabung dengan BSH, Bunawi ahirnya
terbunuh pada saat akan di tangkap.
Cerita tentang penangkapan bunawi
ini akan sedikit penulis uraikan di sini,penulis mendapatbahan cerita dari
surat kabar buana minggu yang di tulis oleh Rukmana HS,ringkasan cerita
Adalah sebagai
berikut: Gerombolan yang telah merongrong kewibawaan RI semasa Revolusi fisik
sekitar tahun 1953 adalah DI/TII/S Bambu runcing dan BSH ( barisan Sakit Hati).BSH
hampir di seluruh jawa barat ada,pusatnya di Cirebon,mereka adalah tentara
tentara yang ikut perang kemerdekaan akan tetapi karena berbagai ketentuan,dan
persaratan tidak dapat di terima jadi TNI lalu mereka bersatu dan membentuk
satu kesatuan yang bernama BSH salah satu pimpinannya yang terkenal adlah SUKI,
Suki ahirnya mati di hutan Loyang,sat dia di bawa untuk menangkap teman
temannya tapi dia lari dan ahirnya dia di tembak.adapun letnan Bunawi salah
seorang perwira polisi Militer di Cirebon banyak hubungan dengan BSH,bahkan
melindungi mereka,hal ini bisa di pahamikarna bunawi mendapat jaminan materi
dari gerombolan BSH berupa hasil penggarongan dan pencurian.Setelah panglima
KOSASIH tahu bahwa bunawi bersekutu dengan BSH,diperintahkan Batlyon 320 untuk
menangkapnya sehingga bunawi di tangkap di rumahnya tapi berhasil meloloskan
diri ke Jakarta berlindung di MBPT ( Markas besar polisi tentara) MBPT
nelindunginya,tapi bila bersalah akan menangkapnya, akhirnya bunawi lari lagi
ke Cirebon dan bersembunyi di rumah salah seorang dukun,Bunawi di tangkap oleh
batlyon Brawijaya resimen 19 sementara sebelum di serahkan ke batlyon 320 di
sekap di pos tentara dekat rel kereta api.ia meloncat dari jendela dan lari
sepanjang rel,tapi dia terpeleset karena berembun, petugas menembaknyadan
berahirlah petualangan Bunawi adapun gangguan gangguan yang di timbulkan BSH
truk truk yang lewat Jakarta – Jawa tengah mereka minta cara paksa kepada sopir sopir truk, atau jadi
pengawal dan meminta uang pengawalan dan lain lain kejahatan seperti penculikan
lalu minta tebusan.
Di susun oleh : Ir Tauhid
Aradias (Almarhum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar