Jumat, 11 November 2011

Sejarah desa cikaso


SEJARAH SINGKAT DESA CIKASO

Desa Cikaso merupakan salah satu desa yang sudah tua, sejarah mengenai kapan terbentuknya, dari mana asal orangnya dan sejarah hal-hal yang lainnya sampai sekarang belum terungkap. Misteri-misteri yang tersimpan pada tempat-tempat yang dianggap mempunyai keramat sampai saat inipun masih menjadi misteri (belum diketahui rahasianya), benda-benda pusaka dan harta-harta yang menurut ceritra tersimpan di Gunung simpen ( nama salah satu tempat keramat yang berlokasi di RT.21/01 Dusun Manis ) sampai kinipun belum terbongkar. Orang hanya dapat mengetahui dari dongeng-dongeng yang terkadang membawa hati kita untuk menyelami kegaiban mahluk-mahluk halus sehingga orang yang mendongengnya itu sulit untuk membuktikan kebenaran ceritranya dan orang yang tidak atau kurang kepercayaan kepada mahluk-mahluk gaib sulit untuk menerima ceritra tersebut.

CERITERA RAKYAT

1.      Ceritera rakyat

Yang dimaksud ceritera rakyat adalah ceritera yang berkembang dimasyarakat, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut tanpa disebutkan tahun kejadiannya. Ceritera rakyat ini banyak kelemahannya karena selain tidak disebut tahun kejadiannya, faktor keterbatasan ingatan sipenceritera dari orang yang satu ke orang yang lain akan ada bumbu-bumbu ceritera baik menambah ataupun mengurangi.
Penulis disini akan menyajikan ceritera rakyat pada zaman Tumenggung Argawijaya hasil wawancara dengan beberapa orang tua, rekaman kaset, wawancara siswa SMA Muhammadiyah dengan Bapak Rusba dan Bapak Umar Widjaya almarhum, ceritera yang diungkap dalam ceritera wayang yang sering dilakonkan oleh dalang Ali pada tahun 50-an yang kesemuanya ini penulis himpun dan disusun dalam satu ceritera, selain itu tentu saja daya imajinasi penulis sendiri dikembangkan untuk menyusun sistematika penulisan, adapun kisah-kisahnya sebagai berikut :
Ø  Tersebutlah kisah di Cikaso ada pemerintahan dengan kepala pemerintahannya bergelar Tumenggung, jenjang pemerintahan yang ada pada waktu itu terdiri dari Tumenggung (setingkat Bupati), Demang (setingkat Wedana) dan Desa dipimpin oleh Kuwu.
Adapun yang jadi Tumenggung adalah Tumenggung Argawijaya dengan Patihnya Nagareja. Tumenggung Argawijaya adalah anak dari Dalem Indrawana dan dalem Indrawana mempunyai adik bernama Indraimawan. Mengenai Indrawana dan Indraimawan tidak banyak diceriterakan begitu pula asal usulnya.
Sebutan Dalem bagi Kepala Pemerintahan di daerah Kuningan digunakan sekitar tahun 1700, hal ini berdasarkan catatan dalam buku sejarah Kuningan yang menceriterakan bahwa setelah Prabu Geusan Ulun meninggal pada tahun 1650, kepala pemerintahan diganti anaknya yang sulung yang bergelar Mangkubumi. Setelah Dalem Mangkubumi memegang kekuasaan di Kuningan maka timbul kembali kekuasaan-kekuasaan diantara saudara-saudaranya yang lain.
Di pusat kota Kuningan dipegang oleh Dalem Mangkubumi, sedangkan saudara-saudaranya sebanyak 28 (dua puluh delapan) orang menempati tempat-tempat kedudukan seperti dapat diketahui dari nama julukannya atau tempat pemakamannya seperti Dalem Mangkubumi dimakamkan di Purwawinangun, Dalem Citangtu, Dalem Pasawahan, Dalem Panyilih, Dalem Koncang, Dalem Trijaya, Dalem Kasturi, Dalem Dago Jawa, Dalem Winduherang, Dalem Cengal dan lain-lain.
Apabila dilihat dari sejarah Kuningan, Dalem Indrawana tidak tercatat ini berarti bahwa Cikaso terpisah dari Kuningan dan Pemerintahan Indrawana diperkirakan pada sekitar tahun 1750.
Kita kembali mengenai Ceritera Rakyat di Cikaso, suatu waktu Tumenggung Argawijaya diundang untuk ikut menghadiri perayaan “mulud” di Solo (Yogya), akan tetapi karena berhalangan menugaskan Demang Cimarilit untuk menghadirinya, tentu saja dengan membawa upeti dan diiringi beberapa pengawal. Waktu datang seluruh undangan yang lain sudah hadir sedang menghadap sultan dan Demang Cimarilit datangnya terlambat sehingga ditegur oleh sultan. Atas teguran tersebut tentu saja merasa tersinggung lalu menjawab bahwa meskipun datangnya terlambat saya tidak akan kalah oleh orang lain, maka merokoklah Demang Cimarilit, tiba-tiba muncul beberapa ekor harimau yang mengacaukan pertemuan, tanpillah Demang Cimarilit untuk menangkap dan menungganginya sehingga seluruh peserta yang hadir terbengong-bengong dan duduk kembali. Pada waktu akan pulang Demang Cimarilit tidak permisi lagi, sehingga dicari kesana kemari dan diketemukan dipendopo sedang makan-makan dengan teman-memannya sebanyak tujuh orang yang tidak diketahui siapa yang tujuh orang tersebut karena tidak ada yang mengenalnya. Setelah itu Demang Cimarilit permisi pulang bersama tujuh temannya dengan menunggangi harimau.
Ø  Kisah lain menceriterakan bahwa suatu waktu Kepala Pemerintahan dari Seuseupan, sebut saja Patih Seuseupan merasa iri hati atas kekuasaan Tumenggung Argawijaya yang makin luas dan beliau bermaksud menyerang Cikaso. Untuk menahan serangan, Tumenggung menugaskan pasukannya untuk mencegat dibatas kota yaitu batas antara Sindangbarang dengan Cikaso. Untuk menggagalkan serangan tersebut Imbakerti (Penasihat Tumenggung) membekali pasukan dengan sapu merang dan air ketan hitam dengan pesan apabila sudah behadap-hadapan dengan musuh hendaknya air ketan hitam tersebut dicipratkan dengan menggunakan sapu merang. Dengan kekuasaan Tuhan pada saat berhadap-hadapan dengan musuh air ketan hitam tersebut dicipratkan maka bergelimpanganlah musuh dalam keadaan pingsan, patihnya sendiri dibunuh dengan dipenggal kepalanya. Setelah patihnya meninggal maka pasukannya dikirim makanan (timbel) dengan lauk pauknya lalu sadar dari pingsannya dan disuruh makan, setelah selesai makan disuruh pulang lagi ke Seuseupan.
Ø  Masih dalam zaman Tumenggung Argawijaya, mengkisahkan terjadinya peperangan antara Tumenggung dengan Kompeni yang mau menaklukan Cikaso, ceritera ini sering dilakonkan dalam ceritera wayang, adapun ceriteranya sebagai berikut :
Dikisahkan pula pada zaman Tumenggung Argawijaya, Kompeni berusaha untuk menaklukkan Cikaso, karena Cikaso masih tetap tidak mau tunduk kepada Kompeni maka diaturlah suatu tipu muslihat oleh Belanda, yaitu dengan mengadakan pesta besar-besaran bertempat di desa Kaliaren. Maksud pesta tersebut akan mengundang Tumenggung Cikaso dan akan dibunuhnya ditempat keramaian. Diundang dalam pesta tersebut Raden Leuwimunding, Gedeng Plumbon, Pangeran Gempol, Kuwu Kaliaren dan Tumenggung Cikaso. Undangan pesta disampaikan oleh Kuwu Kaliaren kepada Tumenggung, tapi tumenggung, tidak bisa hadir karena berhalangan dan mengutus patihnya yaitu patih Nagareja. Meskipun tumenggung tidak hadir tapi niat Kompeni tetap dilaksanakan yaitu ingin membunuh Patih Nagareja. Patih Nagareja adalah Patih yang cukup tangguh/sakti dan kuat serta tidak mempan oleh senjata, tapi ada yang nengetahui kelemahan beliau yaitu tidak akan tahan oleh tusukan bambu hitam (awi hideung=sunda).
Saat berlangsungnya pesta terjadilah keributan dan patih Nagareja dikeroyok dan ditusuk dengan bambu hitam, dalam keadaan terluka dengan tusukan bambu masih tertancap diperutnya Patih Nagareja meloloskan diri dan lukanya dibalut dengan ikat kepala (iket=sunda) maksudnya mau pulang kembali, tetapi dalam perjalanan mendekati perbatasan Cikaso (daerah Jalaksana) lukanya tidak tertahankan lagi, maka dicabutlahbambu hitam yang menancap diperutnya, bambu tersebut dilemparkan dan jatuh di kampong Pasawahan yang sekarang dinamakan Padelingan.
Patih Nagareja itu sendiri dalam keadaan luka terlunta-lunta akhirnya meninggal dan tidak diketahui kuburannya, tapi ada pula ceritera lain bahwa Patih Nagareja dikuburkan di Kompleks Makam Tumenggung.
Ø  Tersebut pula kisah setelah Kompeni gagal membunuh Tumemnggung Argawijaya, maka Kompeni bekerja sama dengan Raden Leuwimunding dan Raden Leuwimunding dikenal sebagai orang yang cukup sakti, kebal akan senjata tajam karena memiliki badik emas, ada juga yang menceriterakan mempunyai wesi kuning.
Setelah diketahui bahwa Raden Leuwimunding akan menyerang, maka bermusyawarahlah Tumenggung Argawijaya dan Imbakerti. Dalam Musyawarah tersebut diputuskan bahwa tidak akan melawan Raden Leuwimunding dengan perang secara terbuka, tapi akan dilawan dengan tipu muslihat karena Raden Leuwimunding cukup sakti maka apabila dilawan dengan secara terbuka akan banyak menimbulkan korban. Tipu muslihat yang digunakan yaitu dengan membuat lubang jebakan yang didalamnya diisi dengan bilah-bilah bambu runcing (dirucuk) dan atasnya ditutup dengan daun-daunan dan tumput. Selain dipersiapkan jebakan, Tumemnggung meminta bantuan kepada tumenggung Kuningan, tetapi tidak mau membantu karena syarat yang diajukan ditolak oleh Tumemnggung Argawijaya, adapun syaratnya yaitu mau membantu Cikaso asal Cikaso mau bergabung ke Kuningan / bergabung dibawah kekuasaan Tumenggung Kuningan.
Sesuai dengan apa yang sudah dipersiapkan maka datanglah pasukan Raden Leuwimunding yang dibantu oleh Kompeni, pasukan sebelum menyerang berkumpul disuatu tempat (sekarang dinamakan Desa Kurucuk dan diganti namanya jadi Kramatmulya), setelah pasukan berhadap-hadapan dan saling mengejek, maka menyerbulah pimpinan pasukan Raden Leuwimunding beserta pasukannya mengejar pasukan Cikaso yang lari kesebelah timur, jebakan sesuai dengan perhitungan pimpinan pasukan Raden Leuwimunding terjerumus kedalam lubang jebakan , lalu dikeroyok beramai-ramai, dilempari dengan batu, ditimbun dengan tanah sampai mati, pasukannya mengundurkan diri dan sebagai peringatan tempat berkumpulnya pasukan saat akan menyerang dinamakan Kurucuk, karena pimpinannya mati dirucuk. Tempat terjerumusnya Raden Leuwimunding dinamakan Cilangga, karena penyerangan tersebut laga atau tidak berhasil, tetapi ada pula yang menyebut bahwa Cilangga tersebut berasal dari langgeng karena airnya tetap mengalir meskipun pada musim kering sekalipun. Dari tempat tertimbunnya Raden Leuwimunding mengalir air yang berbau bangkai sehingga aliran air / selokan tersebut dinamakan Cibugang.
Pasukan Cikaso yang mengundurkan diri dalam keadaan luka-luka membersihkan luka-lukanya pada sebuah aliran sungai yang sekarang dinamakan Cihanyir. Adapun kepercayaan rakyat Desa Cikaso pada lokasi tertentu di Cihanyir airnya bisa digunakan untuk mengobati. Disebut Cihanyir karena airnya bau anyir darah.
Setelah diserang pasukan Raden Leuwimunding, ketumenggungan di Cikaso makin lemah dan akhirnya Tumenggung meninggal harta kekayaannya disimpan disebuah tempat yang sekarang disebut Gunung Simpen. Lokasinya di Dusun Manis Blok Nusa. Adapun harta yang disimpannya berupa panimbal beureum dan panimbal bodas (Teko berwarna merah dan putih) yang berisi Jagung Putih, menurut ceritera yang dimaksud Panimbal beureum yaitu teko dari bahan keramik, sedangkan panimbal bodas yaitu teko dari porselin dan yang dimaksud degan jagung bodas adalah berlian. Selain itu disimpan pula Sangga Emas (baki emas) Keris Antayansari dan Keris Nagapasah. Menurut ceritera di Gunung Simpen ini ada yang menunggunya yaitu harimau jadi-jadian yang dinamai si Pencor (Harimau Pincang)
Ø  Ada pula ceritera rakyat mengenai Imbasuta, Imbasuta adalah adik dari Imbakerti. Mengenai Imbasuta ini ada dua versi ceritera, yaitu versi ceritera orang-orang Sindangbarang dan versi ceritera orang-orang Cikaso.
·           Versi ceritera orang Sindangbarang (Disarikan dari Diktat sejarah Desa Sindangbarang yang disusun oleh U. SUGANDA tahun 1984)
Embah Buyut Cihideung atau Ciringsing Wayang yang biasa disebut oleh orang Cikaso Imbasuta adalah leluhur orang Sindangbarang, suatu waktu terjadi pertentangan dengan leluhur Desa Karangmangu karena persengketaan batas wilayah, karena kesaktian Embah Buyut Cihideung, leluhur Desa Karangmangu mengalami kekalahan dan meminta bantuan ke Cikaso akan tetapi itupun tidak kuat, sehingga batas Desa Sindangbarang bertambah ± 50 meter dari batas semula, karena Embah Buyut Cihideung seorang yang ahli pertanian, maka beliau membuat saluran tersebut Embah Buyut Cihideung tidak menggunakan alat-alat seperti biasanya, tetapi dengan alat kemaluannya, disuatu tempat yang bernama Cisuta ada sebuah batu yang menghalangi saluran sehingga sulit dikerjakan, Embah Buyut Cihideung merasa sedih sampai mengeluarkan air mata dan ditempat itulah asal mulanya disebut Cisuta ((nyusut cimata =sunda), ditempat tersebut saat ini ada batu menonjol kesaluran air dan ada bekas-bekas menatah batu tersebut. Dalam pekerjaan selanjutnya pada suatu tempat tidak meneruskan pekerjaan karena terlalu berat melewati tegalan apabila saluran tersebut diteruskan ke sebelah utara dan tempat tersebut dinamakan Susukan Burung (saluran tidak jadi), pekerjaan pembuatan saluran tersebut dan saluran air tersebut bisa mengairi sawah seluas ± 53 Ha. Suatu waktu Embah Buyut Cihideung diundang ke Cikaso untuk menyaksikan pertunjukan wayang, tetapi ceritera yang dilakonkan wayang tersebut ternyata menceriterakan tentang sepak terjang Embah Buyut Cihideung baik yang jelek atau yang bagusnya. Akibat ceritera tersebut timbulah amarah Embah Buyut Cihideung sehingga terjadi perkelahian dengan orang-orang Cikaso dan Embah Buyut Cihideung kalah lalu dikejar dan mundur ke Sindangbarang, karena dikejar terus lalu mundur menuju kesebelah timur sampai ke Desa Cihideunggirang, beliau bersembunyi disebuah sumur dan orang-orang Cikaso kehilangan jejak, tapi akhirnya ditemukan juga. Sumur yang dipakai tempat persembunyian Embah Buyut Cihideung dinamakn Sumur Cihideung dan Embah Buyut Cihideung itu sendiri dimakankan didekat sumur tersebut di Desa Cihideunggirang dekat pekuburan Desa Panyosogan Kecamatan Ciawigebang. Sebelum Embah Buyut Cihideung mundur sampai ke Cihideung, sempat pula memberikan amanat kepada warga Desa Sindangbarang untuk tidak menanggap wayang, sehingga hiburan menanggap wayang menjadi tabu bagi masyarakat Sindangbarang. Baru sesudah Kemerdekaan (tahun 1945) ada yang berani menanggap wayang, sebelumnya ada juga yang berani menanggap wayang tapi terjadi bencana.
Ceritera lain mengisahkan bahwa pada saat di Desa Sindangbarang kesulitan mencari seorang Pimpinan Desa (Kuwu) datanglah seorang laki-laki yang cukup cakap ke Desa Sindangbarang yang ditanya oleh seorang leluhur Desa Sindangbarang yaitu Embah Buyut Gede tentang maksud kedatangan pemuda tersebut, jawabnya bahwa ia dating dari Kalimanggis atas perintah ibunya untuk berguru dan menanyakan ayahnya kepada Embah Buyut Gede. Setelah pemuda tersebut berdiam lama dan berguru kepada Embah Buyut Gede lalu diangkat menjadi Kuwu pertama Desa Sindangbarang dengan gelar Embah Bewu (Lebed an Kuwu), disebut Lebe karena beliau juga sebagai ahli dalam bidang agama. Adapun ayahnya yang dicari pemuda tersebut dijelaskan oleh Embah Buyut Gede bahwa ayahnya adalah Tumenggung Cikaso dari istrinya / selir yang berasal dari Kalimanggis.
·         Versi ceritera orang Cikaso.
Imbakerti mempunyai dua orang saudara, yaitu Imbawacana dan Imbasuta. Imbakerti adalah penasihat tumenggung Cikaso,seorang arif dan bijaksana, sesepuh tempat orang bertanya dan cukup dalam ilmunya begitu pula kedua adiknya Imbasuta dan Imbawacana kedua-duanya berperan sebagai pembantu Tumenggung.
Imbawacana membantu dalam bidang Pembinaan Pemerintahan sedangkan Imbasuta membantu dalam bidang Kesejahteraan Rakyat, khususnya dalam bidang Pertanian. Imbasuta mempunyai jiwa penyayang dan ahli dalam bidang pertanian, merasa prihatin melihat masyarakat yang berada disebelah timur Desa Cikaso (Sindangbarang) mempunyai lahan yang tidak bisa diairi, maka dibuatlah satu saluran air untuk mengairi daerah tersebut, dalam proses pembuatan saluran tersebut, ceriteranya sama dengan ceritera versi orang Sindangbarang yaitu membuat saluran tersebut dengan kemaluannya sedangkan saluran tersebut dinamakan Solokan Cisuta. Sebelum meninggal beliau memberikan amanat ingin dikuburkan dibatas wilayah perbatasan kekuasaan Tumenggung Cikaso sehingga pada saat beliau wafat layonnya akan dibawa keperbatasan kekuasaan wilayah Cikaso, tapi ditengah jalan (didaerah Sindangbarang) terjadi hujan besar dan layon tersebut ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang membawanya. Layon tersebut ditemukan oleh orang-orang Sindangbarang dan mengatakan bahwa itu mayat Imbasuta yang ingin dimakamkan dibatas wilayah Cikaso, sebagai tanda terimakasih orang-orang Sindangbarang, layon tersebut dibawa dan untuk dikuburkan dibatas wilayah Cikaso sesuai amanatnya.
Karena sipembawa layon (keranda mayat) tidak mengetahui batas-batas yang tepat wilayah Ketumenggungan Cikaso, pada saat sampai di Desa Cihideung dikuburkanlah disana, dan sampai sekarang kuburannya di Desa Cihideung. Ada kepercayaan masyarakat Cikaso, kalau mau nyarang (menahan hujan) hendaknya berjiarah ke kuburan Imbasuta. Itulah ceritera Imbasuta menurut versi orang Cikaso, mana yang benar dari kedua versi ceritera ini ? Wallahu a’lam bisshawaab, namanya juga ceritera.
Ø  Ceritera lain beberapa kejadian bencana alam di Desa Cikaso dan ceritera ini diceriterakan Kakekku Sugri Rana Sasmita dan ceritera ini diceriterakan oleh orang tuanya (Buyut penulis) dimana pernah terjadi gempa bumi yang cukup hebat sehingga alun-alun Cikaso, dan membuat alur sungai dari dalam alur itu keluar ikan-ikan yang terbawa air. Gempa ini tidak mengakibatkan tanah-tanah jadi retak tapi banjir besar melanda Cikaso dengan membawa batu-batu besar, pada peristiwa tersebut tampillah orang tua yang punya cukup ilmu berdiri diperbatasan Desa Cikaso Kurucuk (Kramatmulya) berdo’a menengadahkan tangan dan kehendak Tuhan batu-batu besar yang terbawa banjir tersebut tidak melanda Desa Cikaso tapi berbelok kekiri dan kekanan sehingga sampai saat ini di Cikaso tidak terdapat batu-batu bekas banjir tersebut, yang ada didaerah Desa Kramatmulya (Batu Karut) dan disebelah selatan Desa yang ada komplek Mungkal Dempak dan Cigeletuk. adapun bekas retaknya tanah akibat gempa yang membuat seperti alur sungai ditengah alun-alun saat ini merupakan endapan pasir yang memanjangsekitar ± 7 meter. Untuk pembuktian ini pernah disudut alun-alun sekarang yang dipakai sekolah Tsanawiyah (sekarang bangunan MI) digali pasirnya dan ini apabila ditarik garis lurusnya sampai kerumah penulispun masih terdapat endapan pasir dan ini mungkin terus memanjang sampai sungai Cilengkrang sebelah timur, itulah ceritera Kakekku yang diceriterakan oleh orang tuanya.
Kapankah kejadian ini ? Perkiraan penulis terjadi pada tahun 1804, karena pada tahun tersebut terjadi gempa bumi yang menghancurkan bangunan-bangunan di kota Kuningan.
Ø  Kisah lain menyebutkan bahwa pada saat Kakekku lahir terjadi bencana alam yang hebat, langit menjadi gelap tertutup debu, orang-orang berlarian kesana kemari “ di Desa Iur” pada waktu itulah Kakekku lahir dan oleh orang tuanya waktu kecil diberi nama si Iur, untuk memperingati kejadian bencana alam tersebut.
Kapankah kejadian ini ? Perkiraan penulis terjadi pada tahun 1883 pada saat gunung Krakatau meletus, peristiwa ini bukan saja bencana Nasional tapi bencana Internasional yang mengguncang 2/3 bumi ini, untuk menggambarkan betapa hebatnya ledakan Gunung Krakatau tersebut akan sedikit penulis uraikan cukilan ceritera dalam buku 100 tahun meletusnya Krakatau yang dikarang Abdul Hakim, diterbitkan oleh Pustaka Antarkota tahun 1981 sebagai berikut :
Pada bulan Agustus 1883 terjadi letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda yang menggemparkan seluruh dunia, terjadinya ledakan pada tanggal 26,27 dan 28 Agustus tahun 1883 selama tiga hari Krakatau menyemburkan abu, batu apung dan lahar panas. Gelombang tinggi memusnahkan kota Teluk Betung (Lampung) Anyer dan Caringin (Banten) bunyi ledakan terdengar keseluruh Nusantara dan letusan-letusan kebarat terdengar sampai Srilankka dan Karachi ketimur sampai pertengahan Sidney. Gelombang-gelombang bunyi letusan meliputi seperempat dari luar permukaan bumi. Abu-abu halus yang ditiupkan mencapai ketinggian 30 – 70 Km dan abu-abu ini menyebar kesebagian besar dunia. Letusan Krakatau ini berpengaruh terhadap tekanan udara sampai ke Eropa. Di Tokyo setelah terjadi ledakan Krakatau berminggu-minggu lamanya matahari kelihatannya berwarna merah tembaga. Di kota Missauri (Amerika) 6 bulan setelah terjadi eurupsi matahari berwarna kuning. Banyaknya bahan material yang disemburkan oleh letusan gunung Krakatau ke angkasa 18 Km³ yang tersebar didaerah seluas 872.000 Km². jumlah korban jiwa karena letusan Krakatau bulan Agustus 1883 sebanyak 13.417 jiwa. Dari peristiwa alam inilah penulis bisa mengambil kesimpulan titimangsa hari kelahiran Kakek penulis yaitu pada bulan Agustus 1883 dan wafat pada bula Juli 1967 pada umur 84 tahun.
Ø  Ada pula ceritera lain bahwa pada waktu pemilihan Kuwu Sajum ada yang ”mancir” dari luar Desa (ikut pemilihan) yaitu Bapak Kuwu Mashar dari Kramatmulya, Bapak Kuwu Mashar adalah adik dari Bapak Kuwu Tuba Karangmangu,tapi ternyata kalah, setelah selesai pemilihan, kemungkinan ada yang tidak puas karena terjadi kebakaran yang menghabiskan seluruh Kampung Pasawahan. Adapun Kuwu Sajum meninggal setelah ikut pesta “Tayuban” yang diselenggarakan di Desa Kramatmulya. Pesta yang diadakan di Kurucuk atau Kramatmulya adalah dalam rangka menyambut pembesar belanda yang akan lewat dari Cirebon ke Kuningan., karena sudah biasa apabila ada pembesar  akan lewat suka ada perintah melaksanakan keramaian / pesta dipinggir jalan dan Kramatmulya diadakan pesta didekat rumah bapak Abang sekarang (Alfa Mart saat buku ini dibuat).
Meninggalnya Bapak Kuwu Sajum setelah minum minuman keras dalam Tayuban, tiba-tiba muntah darah lalu dibawa pulang dan akhirnya meninggal dunia,kurang lebih 10 hari kemudian Bapak Ngabihi Jejer pun meninggal dunia pula, beliau ikut hadir dalam pesta tersebut dan ikut minum-minum. Apakah kematian ini ada unsure kesengajaan ? penulis tidak mengetahuinya.
Demikianlah ceritera-ceritera rakyat dari Cikaso yang berkembang dari mulut ke mulut yang dapat penulis himpun dan disusun dalam suatu ceritera.

2.      Ceritera rakyat dihubungkan dengan fakta sejarah
Menceriterakan suatu kisah dalam bentuk dongeng, riwayat, ataupun sejarah dalam bentuk tertulis ataupun lisan biasanya tidak terlepas dari keadaan atau kejadian sekitarnya.
Dua daerah kesultanan dan beberapa daerah lain yang ada hubungannya dengan ceritera rakyat di Desa Cikaso yaitu Kesultanan Yogya dan Kesultanan Cirebon, akan penulis uraikan secara singkat untuk bisa sedikit member gambaran tentang tahun-tahun kejadian dengan beberapa bagian ceritera rakyat.
a.       Kesultanan Mataram
Pada tahun 1645 Amangkurat I diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.
Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.
Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.

Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.

Silsilah Keluarga

Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekik dari Surabaya.
Amangkurat II memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III). Konon, menurut Babad Tanah Jawi ibu Amangkurat III mengguna-guna semua madunya sehingga mandul.

Perselisihan Masa Muda

Mas Rahmat dibesarkan di Surabaya. Ia kemudian pindah ke istana Plered sebagai Adipati Anom. Namun hubungannya dengan adiknya yang bergelar Pangeran Singasari buruk. Terdengar pula kabar kalau jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Singasari.
Pada tahun 1661 Mas Rahmat memberontak didukung para tokoh yang tidak suka pada pemerintahan Amangkurat I. Pemberontakan kecil itu dapat dipadamkan. Para pendukung Mas Rahmat ditumpas semua. Namun, Amangkurat I sendiri gagal saat mencoba meracun Mas Rahmat tahun 1663. Hubungan ayah dan anak itu semakin tegang.
Pada tahun 1668 Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, gadis Surabaya yang hendak dijadikan selir ayahnya. Pangeran Pekik nekad menculik Rara Oyi untuk dinikahkan dengan Mas Rahmat. Akibatnya, Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

Persekutuan dengan Trunajaya

Mas Rahmat diampuni ayahnya namun juga dipecat dari jabatan Adipati Anom. Jabatan putra mahkota Mataram kemudian diberikan kepada putra yang lain, yaitu Pangeran Puger.
Pada tahun 1670 Mas Rahmat meminta bantuan Panembahan Rama, seorang guru spiritual dari keluarga Kajoran. Panembahan Rama memperkenalkan bekas menantunya, bernama Trunajaya dari Madura sebagai alat pemberontakan Mas Rahmat.
Pada tahun 1674 datang kaum pelarian dari Makasar yang ditolak Amangkurat I saat meminta sebidang tanah di Mataram. Diam-diam Mas Rahmat memberi mereka tanah di desa Demung, dekat Besuki. Mereka kemudian bergabung dalam pemberontakan Trunajaya.
Kekuatan Trunajaya semakin besar dan sulit dikendalikan. Mas Rahmat merasa bimbang dan memilih berada di pihak ayahnya. Ia kembali menjadi putra mahkota, karena Pangeran Puger sendiri berasal dari keluarga Kajoran (pendukung pemberontak).
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya menyerbu istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat, sedangkan istana dipertahankan oleh Pangeran Puger sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran mendukung Trunajaya. Namun Pangeran Puger sendiri akhirnya terusir ke desa Kajenar.

Persekutuan dengan VOC

Amangkurat I meninggal dalam perjalanan pada 13 Juli 1677. Menurut Babad Tanah Jawi, minumannya telah diracun oleh Mas Rahmat. Meskipun demikian, Mas Rahmat tetap ditunjuk sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.
Mas Rahmat disambut baik oleh Martalaya bupati Tegal. Ia sendiri memilih pergi haji daripada menghadapi Trunajaya. Tiba-tiba keinginannya tersebut batal, konon karena wahyu keprabon berpindah padanya. Mas Rahmat pun menjalankan wasiat ayahnya supaya bekerja sama dengan VOC.
Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.

Membangun Istana Kartasura

Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaitu Pangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.
Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered setelah kota itu ditinggalkan Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukan Mas Rahmat (kakaknya) melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar.
Perang antara Plered dan Kartasura meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kalah.
Babad Tanah Jawi menyebut Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerusnya.

Sikap Amangkurat II terhadap VOC

Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati lemah yang mudah dipengaruhi. Pangeran Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Ia naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut.
Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan.
Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati diberinya tempat tinggal di desa Babirong untuk menyusun kekuatan.
Bulan Februari 1686 Kapten François Tack tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Pertempuran terjadi. Pasukan Untung Suropati menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh pasukan Untung Suropati
Amangkurat II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati Jangrana.

Akhir Kehidupan Amangkurat II

Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar. Pihak VOC menemukan surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan bangsa Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi Belanda. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapten Jonker tahun 1689.
Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan.
Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.

Asal-Usul
Nama aslinya adalah Raden Mas Sutikna. Menurut Babad Tanah Jawi, ia adalah putra Amangkurat II satu-satunya karena ibunya telah mengguna-guna istri ayahnya yang lain sehingga mandul. Mas Sutikna juga dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
Dikisahkan pula bahwa Mas Sutikna berwatak buruk, mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan. Ketika menjabat sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
Perselisihan dengan Pangeran Puger
Amangkurat III naik takhta di Kartasura menggantikan Amangkurat II yang meninggal tahun 1702. Konon, menurut Babad Tanah Jawi, sebenarnya wahyu keprabon jatuh kepada Pangeran Puger.
Dukungan terhadap Pangeran Puger pun mengalir dari para pejabat yang tidak menyukai pemerintahan raja baru tersebut. Hal ini membuat Amangkurat III resah. Ia menceraikan Raden Ayu Himpun dan mengangkat permaisuri baru, seorang gadis dari desa Onje.
Tekanan terhadap keluarganya membuat Raden Suryokusumo (putra Pangeran Puger) memberontak. Amangkurat III yang ketakutan segera mengurung Pangeran Puger sekeluarga. Mereka kemudian dibebaskan kembali atas bujukan Patih Sumabrata.
Dukungan terhadap Pangeran Puger untuk merebut takhta kembali mengalir. Akhirnya, pada tahun 1704, Amangkurat III mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Puger sekeluarga, namun sasarannya itu lebih dulu melarikan diri ke Semarang.
Meninggalkan Kartasura
Pangeran Puger di Semarang mendapat dukungan VOC, tentu saja dengan syarat-syarat yang menguntungkan Belanda. Ia pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Pakubuwana I. Gabungan pasukannya bergerak tahun 1705 untuk merebut Kartasura. Amangkurat III membangun pertahanan di Ungaran dipimpin Pangeran Arya Mataram, pamannya, yang diam-diam ternyata mendukung Pakubuwana I.
Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya meninggalkan Kartasura. Ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
Pemerintahan Amangkurat III yang singkat ini merupakan kutukan Amangkurat I terhadap Amangkurat II yang telah meracuni minumannya ketika melarikan diri saat Kesultanan Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 silam.
Konon, Amangkurat II dikutuk bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang (Amangkurat III) dan itu pun hanya sebentar. Kisah pengutukan ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa pemerintahan raja keturunan Pakubuwana I sehingga kebenarannya sulit dibuktikan.
Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri.
Untung Suropati bupati Pasuruan yang anti VOC segera mengirim bantuan untuk melindungi Amangkurat III. Gabungan pasukan Kartasura, VOC, Madura, dan Surabaya bergerak menyerbu Pasuruan tahun 1706. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Suropati tewas. Putra-putranya kemudian bergabung dengan Amangkurat III di Malang.
Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
Pembuangan ke Sri Lanka
Pangeran Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka. Amangkurat III akhirnya meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
Catatan
Para sejarawan menyebut adanya tiga perang besar memperebutkan takhta di antara keturunan Sultan Agung, yang disebut dengan nama Perang Suksesi Jawa atau Perang Takhta, yaitu:
·         Perang Suksesi Jawa I (17041708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
·         Perang Suksesi Jawa II (17191723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.
·         Perang Suksesi Jawa III (17471757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.

Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura

Pangeran Puger dalam sejarah Kesultanan Mataram merujuk pada beberapa nama, yang terkenal antara lain, putra Panembahan Senopati dan putra Amangkurat I. Kedua tokoh ini hidup pada zaman yang berbeda.
Pangeran Puger yang kedua (putra Amangkurat I) naik takhta menjadi raja Kasunanan Kartasura tahun 1704-1719, bergelar Sunan Pakubuwana I. 

Nama aslinya Raden Mas Drajat, lahir dari permaisuri keturunan Keluarga Kajoran.
Mas Drajat pernah diangkat menjadi putra mahkota menggantikan kakaknya, yaitu Mas Rahmat yang berselisih dengan ayah mereka (Amangkurat I). Namun jabatan tersebut kemudian dikembalikan lagi pada Mas Rahmat karena Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunojoyo. Mas Rahmat kembali bergelar Pangeran Adipati Anom, sedangkan Mas Drajat kembali bergelar Pangeran Puger.

Ketika terjadi serbuan Trunojoyo tahun 1677, Adipati Anom menolak ditugasi ayahnya mempertahankan Plered, ibu kota Mataram, dan memilih ikut mengungsi ke barat. Pangeran Puger tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti kalau tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo. Namun kekuatan kaum pemberontak terlalu besar sehingga Puger kalah dan menyingkir ke Jenar.

Pangeran Puger kemudian mendirikan Kerajaan Purwakanda berpusat di Jenar. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke markasnya di Kediri, Sunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu.Amangkurat I meninggal dalam pengungsian. Adipati Anom menjadi raja tanpa takhta bergelar Amangkurat II. Dengan bantuan VOC, pasukan Amangkurat II berhasil menumpas Trunojoyo akhir tahun 1679.

Karena Plered diduduki Sunan Ingalaga, Amangkurat II memilih membangun keraton baru bernama Kartasura pada bulan September 1680. Ia kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung di Kartasura.

Ajakan itu ditolak. Maka terjadilah perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, pemimpin pasukan VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II.

Antara kedua bersaudara, Amangkurat II dan Pangeran Puger, terdapat perbedaan sifat yang mencolok. Amangkurat II dikisahkan bersifat lemah hati dan tidak teguh pendirian. Sebaliknya, Pangeran Puger jauh lebih tegas. Itulah sebabnya Pangeran Puger diangkat sebagai tangan kanan Amangkurat II dan lebih berperan penting dalam pemerintahan daripada kakaknya, yang hanya bersifat sebagai simbol.Amangkurat II naik takhta berkat bantuan VOC, tentu saja dengan perjanjian yang memberatkan Kartasura. Ketika keadaan sudah aman, Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian.

Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkap si pelarian. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati.

Dalam pertempuran sengit di sekitar keraton Kartasura bulan Februari 1686, tentara VOC sebanyak 75 orang tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pangeran Puger sendiri berhasil membunuh Kapten Tack menggunakan tombak Kyai Plered.

Amangkurat II meninggal dunia tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya "berdiri". Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, diyakini akan menjadi raja tanah Jawa. Pangeran Puger menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun yang melihat.

Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Suasana antara paman dan keponakan tersebut memanas. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak.

Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger. Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Adipati Jangrana bupati Surabaya. Adipati Jangrana sendiri sebenarnya memihak Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara.

Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara menjadi perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack serta menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihak VOC.

Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.

Pada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau disingkat Pakubuwana I.

Setahun kemudian (1705) Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang menghadang dipimpin Arya Mataram, adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedang ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.

Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I tanggal 17 September 1705.Pemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama yang telah dibatalkan berisi kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunojoyo sebesar 4,5 juta gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun.

Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam perang itu, Untung Surapati yang sudah menjadi bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III sendiri akhirnya menyerah di Surabaya tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke Srilanka.

Pada tahun 1709 Paku Buwana I terpaksa menghukum mati Adipati Jangrana bupati Surabaya yang telah membantunya naik takhta. Penyebabnya ialah, pihak VOC menemukan bukti kalau Adipati Jangrana berkhianat dalam perang melawan Untung Surapati tahun 1706.

Adipati Jangrana digantikan adiknya, bernama Jayapuspita sebagai bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura dan menyusun pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan pasukan Kartasura dan VOC menyerbu Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan daripada perang di Pasuruan dulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke Mojokerto tahun 1718.Paku Buwana I meninggal dunia tahun 1719. Yang menggantikan sebagai raja selanjutnya adalah putranya, yang bergelar Amangkurat IV.

Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan saudara-saudaranya, antara lain Pangeran Blitar dan Pangeran Dipanegara Madiun.Salah Seorang anak Amangkurat IV kelak bergelar Hamengkubuwana I,Sultan Yogyakarta.







Masa Berdirinya Surakarta
Kota Solo memiliki sejarah panjang. Solo merupakan kota yang secara umur lebih tua daripada Yogyakarta. Solo atau Surakarta bisa dibilang berdiri sejak didirikannya Kasunanan Surakarta yang rajanya bergelar Pakubuwana (Pakubuwono). Dasarnya adalah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian Giyanti menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Pakubuwono I dan II dianggap bukan Raja Kasunanan Surakarta, tetapi raja Mataram (Kartasura). Surakarta sendiri merupakan kebalikan kata dari Karta-Sura.
Akibat dari Perjanjian Giyanti, Surakarta punya raja Pakubuwono sementara Yogyakarta yang dijadikan pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, punya raja bernama Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Pembangunan keraton dan kota Yogyakarta mengikuti pola tata kota yang sama persis dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Meskipun Sultan pertama Surakarta adalah Pakubuwono III, tapi tak salah jika kuceritakan juga tentang Pakubuwono I dan II. Awalnya, gelar Pakubuwana adalah sebuah gelar yang diperoleh Raden Mas Derajat yang setelah dewasa bergelar Pangeran Puger. Ia merupakan putra Amangkurat I. Gelar ini kemudian diteruskan ke keturunan-keturunannya hingga yang saat ini, Pakubuwana XIII. Amangkurat I sendiri merupakan putera Sultan Agung Hanyokrokusumo (Pahlawan Nasional). Amangkurat I adalah Raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari Ratu Wetan atau permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang keluarga keturunan Kesultanan Pajang.
Kembali kepada Pakubuwono I, dia berstatus raja ketiga Kasunanan Kartasura (sebelum pindah ke Surakarta) yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Ia memerintah pada tahun 1704 – 1719. Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan tokoh ini sebagai raja agung yang bijaksana.
Pakubuwono I memperoleh kekuasaan sebagai raja atau sultan di Kasultanan Kartasura setelah berhasil merebutnya dari Amangkurat III. Amangkurat III merupakan anak dari Amangkurat II. Sementara Amangkurat II merupakan adik Amangkurat I atau paman Pakubuwono I. Pada saat itu, Pakubuwono (PB) I dibantu oleh gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura, dan Surabaya.
Ketika berhasil menjadi Raja, ia bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa.
Sepeninggal PB I, Raja Kartasura kemudian dipimpin oleh anak PB I yang bergelar Amangkurat IV. Nama asli Amangkurat IV adalah Raden Mas Suryaputra, yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Blitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah putri Madiun).
Pada masa Amangkurat IV inilah Kartasura diliputi banyak pertempuran dan pemberontakan dalam rangka perebutan tahta dan kuasa Kartasura. Singkat cerita, Amangkurat IV akhirnya meninggal setelah diracun.
Tahta Kartasura kemudian dilanjutkan anaknya yang bergelar PB II. Ketika naik tahta, ia masih berumur 15 tahun, seumuran anak kelas 1 SMA-lah. Nama aslinya adalah Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV dari permaisuri keturunan Sunan Kudus. Karena masih sangat muda, wajar jika beberapa tokoh istana bersaing untuk menguasainya. Para pejabat Kartasura pun terbagi menjadi dua kelompok, yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri), dan golongan anti VOC dipelopori Patih Cakrajaya.
Tokoh penting lain adalah Arya Mangkunegara kakak Pakubuwana II (lain ibu) yang sebelumnya juga sempat ingin merebut tahta, namun menyerah dan diampuni ayahnya (Amangkurat IV). Karena dianggap menggangu Patih Cakrajaya, tahun 1728 Cakrajaya berhasil menjebaknya seolah ia berselingkuh dengan istri PB II. Atas desakan Pakubuwana II, VOC terpaksa membuang Arya Mangkunegara ke Srilangka, kemudian ke Tanjung Harapan.
Di masa PB II inilah proses perpindahan kerajaan dari Kartasura ke Surakarta. Selama bertahta, PB II juga masih sering menghadapi pemberontakan-pemberontakan mulai dari alasan perebutan tahta dan lainnya.
Ketika istana sudah dipindahkan ke Surakarta, pemberontakan yang masih bergejolak adalah pemberontakan kaum Cina. Untuk menuntaskan sisa-sisa pemberontakan tersebut, PB II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said (pimpinan pemberontak Cina).
Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Padahal, Pangeran Mangkubumi sebelumnya juga ikut mendukung pemberontakan Cina.
Karena yang memenangkan adalah Pangeran Mangkubumi, para saingan politiknya pun mencari cara untuk menggagalkan hadiah tanah tersebut. Sampai-sampai, muncul Baron van Imhoff (Gubernur jenderal VOC) yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak PB II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Pangeran Mangkubumi yang sakit hati kemudian meninggalkan Surakarta untuk bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Perang yang sebelumnya hampir padam kembali meletus. Para sejarawan menyebutnya sebagai Perang Suksesi Jawa Ketiga (ini terjadi sekitar tahun 1747 s/d 1757)
Di tengah panasnya suasana perang, PB II jatuh sakit akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, kawan lamanya yang ketika itu menjabat gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, tiba di Surakarta sebagai saksi VOC atas jalannya pergantian raja. PB II bahkan menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada von Hohendorff. Inilah saat dimana Mataram benar-benar terpecah belah hanya karena perebutan kekuasaan. Tentu saja, peran VOC sangat kental dalam hal ini.
Singkat cerita, perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai titik awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta ke tangan Belanda. Sejak itu, hanya VOC-lah yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman). Peraturan ini terus berlaku sampai zaman kemerdekaan Indonesia. PB II akhirnya meninggal dunia akibat sakitnya itu tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana III. (Sumber utama: wikipedia)

Sari uraian sejarah diatas dihubungkan dengan ceritera rakyat, pernah terjadi jaman Tumenggung Argawijaya mengutus Demang Cimarilit untuk menghadiri acara Maulid sambil mengantarkan upeti, setelah kerajaan Mataram dibadi dua yaitu sesudah dibuatnya perjanjian Gianti (1755), maka penulis memperkirakan Tumenggung Argawijaya memerintah sekitar tahun 1755-1800.

b.      Kesultanan Cirebon
Dalam buku karya RH. Unang Sunaryo SH. Dengan judul MENINJAU SEPINTAS SEJARAH PEMERINTAH CIREBON dan buku sejarah masuknya Islam jilid IV karya HAMKA menceriterakan sebagai berikut :
Pangeran Giri Laya beserta kedua anaknya Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Mataram (diamankan/ditahan) hamper selama 12 tahun. Pangeran Girilaya meninggal di Yogya. Harta dan anaknya dibebaskan pada saat terjadi pemberontakan Trunajaya (1755), lalu keduanya dibawa ke Kediri, dari Kediri ke Surabaya terus dibawa ke Banten, tahun 1677 Pangeran Martawijaya naik tahta sebagai Sultan Sepuh pertama dengan gelar Raja Samsudin dan Kartawijaya sebagai Sultan Anom, sedangkan Pangeran Wangsakerta Siltan bungsu pada waktu ayah beserta kakak-kakaknya ditahan di Yogya, beliau adalah sebagai pejabat Sultan di Cirebon. Pada saat kedua kakaknya dinobatkan, Pangeran Wangsakerta sementara tinggal dengan Sultan Sepuh di komplek Keraton Pakungwali, sedang menurut HAMKA Pangeran Wangsakerta setelah kedua Kakaknya dinobatkan beliau pergi ke Banten. Tanggal 23 Januari 1681 dibuat perjanjian persahabatan antara Sultan-sultan di Cirebon dengan VOC, perjanjian ini terjadi karena Cirebon merasa terganggu oleh gangguan keamanan yang dilakukan oleh pasukan Banten, hal ini terungkap dalam catatan harian VOC yang dikurip Drs. S. Edi Eka Jati dan dikutip lagi oleh RH. Unang Sunaryo SH., perjanjian ini yang jadi permulaan secara resmi VOC menggenggam Kesultanan Cirebon.
Tanggal 2 Pebruari 1809 dibawah kekuasaan Gubernur Hindia Belanda dikeluarkan peraturan mengenai Tanah-tanah Cirebon dan para Sultan jadi pegawai Belanda dengan Pangkat dan Jabatan Bupati dan Wedana. Peraturan ini diteruskan pelaksanaannya oleh Rafless pada tahun 1811, karena pada bulan Oktober 1811 Inggris berhasil merampas koloni kerajaan Belanda tahun 1815 saat kekuasaan Inggris akan berakhir, ini karena kekuasaan-kekuasaan Sultan makin dikurangi.
Tahun 1815 Kesultanan Cirebon beralih lagi dikuasai oleh Belanda dan mengadakan penertiban-penertiban pemerintah, diperkirakan saat inilah terjadi penyerangan-penyerangan ke Tumenggung Cikaso seperti yang diceriterakan dalam ceritera rakyat yaitu karena Cikaso tidak mau ditaklukkan/ditertibkan oleh Belanda. Tanggal 5 Januari 1819 dibentuk Kabupaten Kuningan yang dikepalai oleh seorang Bupati, maka otomatis Ketumenggungan Cikaso pada jaman Tumenggung Argawijaya sekitar tahun 1825 berakhir.
Bukti bahwa di Cikaso pernah ada Pemerintahan dengan Kepala Pemerintah bergelar Tumenggung / Bupati adalah tercatat dalam buku karya Stapford Raffles berjudul THE HISTORY OF JAVA, Vol II, London 1817 yang dikutip oleh Unang Sunaryo SH yang menyatakan jumlah penduduk, luas tanah sawah dan tegalan yang termasuk kesultanan Cirebon yaitu :
Jumlah penduduk yang termasuk Kesultanan Cirebon tahun 1815 yaitu :
1.      Begawan
2.      Cirebon
3.      Ciamis
4.      Cikaso
5.      Linggarjati
6.      Gebang
7.      Losari
8.      Kuningan
9.      Talaga
10.  Sindangkasih
11.  Rajagaluh
12.  Panjalu
Dari 12 daerah ini jumlah penduduk terdiri dari penduduk pribumi 213.658 orang dan penduduk Cina berjumlah 2.343 orang. Adapun luas sawah serta tegalan wilayah Kesultanan Cirebon tahun 1815 yait sbb :

No.
Nama Daerah
Luas Sawah
Luas Tegalan
Ket
1.
Begawan
2.587
76

2.
Cirebon
1.318
113

3.
Ciamis
352
125

4.
Cikaso
873
138

5.
Linggarjati
429
125

6.
Gebang
567
47

7.
Losari
600
12

8.
Kuningan
801
356

9.
Talaga
338
670

10.
Sindangkasih
459
321

11.
Rajagaluh
591
98

12.
Panjalu
265
399


Melihat data-data tersebut diatas penulis memperkirakan bahwa pendataan jumlah penduduk dan luas tanah ada hubungannya dengan pihak Belanda dalam rangka pembentukan daerah-daerah/ pengurangan kekuasaan-kekuasaan pemerintahan pribumi dimana untuk selanjutnya penunjukan Bupati dan Wedana ditunjuk oleh Gubernur Hindia Belanda.
Dari uraian buku History of Java daerah-daerah yang berada dibawah Kesultanan Cirebon, saat ini (1990) meliputi 4 (empat) Kabupaten yaitu :
1.      Kabupaten Cirebon                 : Cirebon, Bengawan, Gebang dan Losari
2.      Kabupaten Kuningan              : Cikaso, Kuningan dan Linggarjati
3.      Kabupaten Ciamis                  : Ciamis dan Panjalu
4.      Kabupaten Majalengka           : Talaga, Sindangkasih dan Rajagaluh.
Daerah-daerah inilah yang terkena peraturan Belanda dimana daerah kekuasaannya dipersempit yaitu dari 12 (duabelas) daerah menjadi 4 (empat) Kabupaten. Khusus untuk daerah Ciamis yang diceriterakan dalm buku History of Java yang masuk Kesultanan Cirebon adalah sebagian dari Ciamis karena pada waktu itu (tahun 1811) Kabupten Ciamis ada 1 (tiga) yaitu Galuh Imbana, Galuh Ciamis dan Galuh Utama dan yang masuk Kesultanan Cirebon adalah Galuh Ciamis tapi akhirnya disatukan jadi Kabupaten Galuh, juga termasuk Panjalu.(Buku Cerita Dipati Ukur, Karya S. Ekajati)

3.      Perkembangan Pemerintahan di Cikaso
Tumengging Cikaso yang bergelar Tumenggung Argawijaya adalah putera Dalem Indrawana, sebutan Dalem bagi seorang kepala pemerintahan menurut riwayatsingakat sejarah kuningan adalah sekitar tahun 1700, seperti penulis uraikan pada ceritera terdahulu setelah dalem Indrawana wafat diganti oleh puteranya yang bergelar Tumenggung. Tumenggung membawahi beberapa wilayah kedemangan dan Tumenggung Cikaso membawahi 17 kademangan diantaranya adalah Demang Cimarilit, Demang Sastrawerdaya, Demang Ragawacana, Demang Wirangga dan Demang Nipitrawira. Yang menjadi Patihnya adalah Patih Nagareja sebagi bendahara adalah ngabei silih (dimakamkan didesa Dukuhbadag Kecamatan Cibingbin). Bertindak sebagai penasihat adalah Imbakerti
Seorang tua yang bijaksana dan dalam ilmunya, Imbakerti mempunyai seorang sahabat yang bernama Pangeran Nipibaya dari Kuningan, yang menjadi tangan kanan Pemerintahan selain Patih Nagareja juga Demang Cimarilit dan Buyut Timbang, yang menjadi pemimpin agama (Ulama) kiyai Moh. Arif suami Eyang Mu`minah puteri Eyang Hasan Maulani dari Lengkong.
Adapun leluhur-leluhur Cikaso (anu ngageugeuh) yaitu Buyut Sukadana, Buyut  Macsandaru, Buyut Punduh, Nyi Mas Andayansari dan Nyi Mas Andayanasri. Setingkat dibawah Demang yang menjadi Kepala Pemerintahan adalah Kuwu. Ketumenggungan di Cikaso tidak berlangsung lama karena sekitar tahun 1809 Pemerintah Belanda mengadakan peraturan-peraturan untuk mengurangi / menyederhanakan system pemerintahan dengan mengurangi penguasa-penguasa pribumi. Adapun wilayah Ketumenggungan Cikaso saat itu meliputi Desa Cikaso, Karangmangu, Nanggerang, Kramatmulya, Kalapagunung, Cilowa dan Bojong, mungkin termasuk pula Ragawacana karena ada Demang Ragawacana.
Setelah Pemerintahan Tumenggung berakhir penggantinya adalah Kuwu, maka Kepala-kepala Pemerintahan di Cikaso secara sistematis dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Dalem Indrawana                                            Sekitar tahun 1775
2.      Tumenggung Argawijaya                                  sekitar tahun 1200
3.      Kuwu Wiradijaya                                             -
4.      Kuwu Indrakawaca                                          -
5.      Kuwu Argawijaya (Kuwu Bodas)                    -
6.      Kuwu Jajar                                                      -
7.      Kuwu Sajum                                                    -
8.      Kuwu Wariasantana (Kuwu Barak)                  Tahun 1923 – 1926
9.      Kuwu Umar Wijaya                                         Tahun 1926 – 1929
10.  Kuwu Manah Prawiradiredja                           Tahun 1928 – 1948
11.  Kuwu Bagenda Sastrawinata                            Tahun 1949 – 1967
12.  Kuwu Memen Suherman                                 Tahun 1967 – 1980
13.  Kuwu Ashadi                                                   Tahun 1980 – 1988
14.  Kuwu Een Juhendi                                          Tahun 1988 – 19
15.  Kuwu Soleh                                                     Tahun 19
16.  Kuwu H. Sarkosi                                             Tahun 19
17.  Kuwu H. Jabidi Raharja                                   Tahun 2007
Tahun-tahun pemerintahan dari mulai Kuwu Wiradijaya sampai Kuwu Sajum tidak diketahui pasti, akan tetapi bisa diperkirakan bahwa rata-rata pemerintah antara 10 – 15 tahun karena sebanyak 5 Kuwu melewati kurun waktu 75 s/d 80 tahun, waktu itu belum ada pembatasan lamanya jabatan Kuwu (Kepala Desa) termasuk sampai sesudah Perang Kemerdekaan, dimana Bapak Kuwu Bagenda Sastrawinata memerintah selama 19 tahun.
Dimasa Kuwu ke 14 sampai dengan memasuki Kuwu ke 17 ada masa-masa kosong. Masa-masa tersebut diisi (dijabat) oleh Pejabat Sementara (PJS) antara lain :
1.      Tahun…………..s/d ……….                            Oleh :…………..
2.      Tahun…………..s/d ……….                            Oleh :…………..
3.      Tahun…………..s/d ……….                            Oleh :…………..
4.      Tahun…………..s/d ……….                            Oleh :…………..

Memasuki jaman Orde Baru Lembaga Pemerintahan Desa di tata sedemikian rupa, sehingga selain perangkat pemerintah ada pula Lembaga / Organisasi di Desa seperti BPMD, LSD yang kemudian disebut LKMD dan LMD dan sesuai perkembangan waktu berubah lagi namanya menjadi BPD dan PLM, ada pula lembaga yang melaksanakan pembinaan keagamaan yaitu Majelis Ulama serta ada  pula Linmas (Perlindungan Masyarakat) yang sebelumnya bernama Hansip (Pertahanan Sipil) dan sebelum itu bernama OKD dan OPR

BAB III
MASA PENDUDUKAN JEPANG SAMPAI DENGAN
TERJADINYA PEMBERONTAKAN G 30 S PKI

1.      Masa Pendudukan Jepang
Sebelum matahari terbit tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di Pulau Jawa yaitu pantai Banten, Indramayu dan Rembang. Divisi yang mendarat di Banten terus menerobos ke Jakarta, Bogor dan Banten. Koloni yang mendarat di Indramayu dengan cepat merebut lapangan terbang Kalijati, yang mendarat di Rembang 1 koloni ke Jawa Tengah merebut Semarang, Magelang, Solo dan Yogya.
Tanggal 8 Maret 1942 Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda Van Starkenbargh menandatangani kapitulasi di Jakarta dan ini berarti berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan untuk selanjutnya memasuki babak jaman penjajahan Jepang.
Awal tahun 1943 strategi jepang dirubah tidak lagi menyerang tapi mempertahankan wilayah di Indonesia dengan dibentuknya Seinen Dodjo (Tempat latihan pemuda) di Tangerang.
Dibentuk pula beberapa organisasi militer diantaranya KEIBODAN (Barisan Bantuan Polisi, SEINENDAN (Barisan Pemuda). Dilaksanakan pula pengerahan tenaga HEIHO (Pembantu Sertdadu) yang semula sebagai tenaga kerja kasar tapi kemudian dipakai pula tugas-tugas bersenjata.
Atas usul Gatot Mangkupraja pada tanggal 3 Oktober 1943 oleh Letnan Jenderal Kumeciki Harada dibentuk tentara PETA dengan 3 macam pangkat, yaitu Daidanco (setingkat battalion) Cudanco (setingkat kompi), Syudanco (setingkat peleton), Budanco (regu) dan Prajurit disebut Sijuhci.
Awal tahun 1944 mulailah dibentuk Daidan-daidan tentara diseluruh pulau Jawa dan Madura. Disamping tentara biasa dibentuk pula pasukan Gerilya Istimewa Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Pasukan dengan uniform biru dan tidak digundul.
Dikerahkan pula Romusha untuk untuk membangun sarana dan prasarana dalam rangka persiapan perang. Para Romusha disanjung-sanjung sebagai Pahlawan pekerja padahal dalam prakteknya diperlakukan sebagai budak belian. Kesengsaraan rakyat pada jaman Jepang sudah tidak terperikan lagi, padi dibeli dengan paksa oleh Kumiai-kumiai (organisasi pembelian padi), dimana Kumiai-kumiai membeli padi melebihi dari jatah yang seharusnya yaitu 1/5 bagian dari hasil panen.
Orang-orang yang jadi alat Jepang hidup makmur dikenal istilah KUSUKEIKO Kusukeiko adalah bahasa Jepang yang artinya bahaya udara, kalau ada tanda Kusukeiko, lampu dipadamkan keadaan jadi gelap gulita, maka istilah Kusukeiko adalah main gelap-gelapan.
Keadaan cikaso itu sendiri tidak terlepas dari situasi umum yang ada di wilayah Indonesia ,beberapa kejadian pada jaman jepang yaitu;
1. Suatu waktu (awal penjajahan jepang) dating ke Cikaso satu dua orang jepang menyuruh mengumpulkan masyarakat Desa Cikaso.Memberikan penjelasan penjelasan pentingnya penanaman Jarak dan Kapas,sebagai juru bahasa adalah Kuwu,setelah itu masyarakat menebangi pohon kamboja ditanah pekuburan dan ditanam dengan Jarak,begitu pula halaman-halaman rumah,Tapi tanaman ini ti dak keburu dipanen karena Jepang kalah, sampai saat ini tanah pekuburan tersebut tidak ditanami lagi.
2. Datang pula anjuran Jepang untuk mengumpulkan bahan makanan yang ternyata dalam pelaksanaanya menyimpang dari ketentuan dimana seharusnya 1/5 bagian dari hasil panen harus   semua,lebih tragis lagi ada masyarakat harus menambah dari jumlah hasil panen dan ini mungkin praktek penyimpangan dari Kumiai-Kumiai.
3. Dianjurkan pula untuk mengumpulkan alat alat dari senjata-senjata tajam, tombak, peang, keris dan pagar-pagar besi dicabuti. tapi ada pula yang aneh yaitu menganjurkan mesin jahit pun harus dijual ke Jepang,tentu saja inipun merupakan penyimpangan.
4. Dikerahkan pula masyarakat untuk kerja paksa,gelombang demi gelombang dari Cikaso dikirim ke Beusi,ke Pantai Cirebon,dan Citangtu.Dalam pelaksanaanya ada yang berangkat melaksanakan perintah tapi ada pula yang member upah pada yang lain.
Pengalaman salah seorang yang dikirim ke Beusi memberikan penjelasannya sebagai berikut;
·                Suatu waktu (antara tahun 1942-1943) dari Cikaso diberangkakan sebanyak 20 orang untuk ke Beusi,dari berbagai Desa dikumpulkan di Balai Desa Kuningan (sebelah selatan Mesjid Kuningan),jam 24.00 (jam 12 malam) rombongan disuruh berangkat   dbagi uang sebanyak 50 sen beserta tudung (dudukuy) perjalanan memakai route Kuningan-Cilimus-Mandirancan-Rajagaluh (menginap di Rajagaluh) besoknya meneruskan perjalanan ke Majalengka-Kadipaten terus ke Beusi.tugas an dilaksanakan adalah menggali pasir,membuat perlndungan dan Hanggar Kapal Terbang,lamanyadi Beusi sampai 3 bulan.
5. Dikerahkan pula Romusha ke Luar Negri yaitu ke Singapura (Sunanto). Gelombang
pertama berangkat sekitar bulan Agustus 1945, terdiri dari bapak Yusa,Carsim,Sarkib,Sarpi dan bapak Nasuha dari Karangmangu,semua ini berangkat karena ada tugas dari Desa,ada pula yang berangkat secara sukarela,yaitu Bapak Jusa dan Bapak Sani,keberangkatannya 5 bulan kemudian sesudah gelombang pertama.
Tugas utama para Romusha yaitu membuat pelampung-pelampung ranjau.menggali pasir dan membuat perlindungan,rombongan pertama berada di Singaura + 24 bulan dan rombongan kedua setelah 19 bulan.
Di Singapura para Romusha dari Cikaso bertemu pula dengan Bapak Said yangkebetulan dari Cikaso dan jadi pimpinan di Singapura atau disebut oleh para Romusha sebagai Daidanco.
         Tanggal 14 Agustus 1945 Kota Hirosima dan Nagasaki di Bom,Jepang menyerah tanpa syarat dan pada ahir bulan Agustus 1945 seluruh Romusha di pulangkan lagi ke daerah asalnya,termasuk rombongan dari Cikaso,dibawa pulang dengan kapal laut dan mendarat di Tanjung Priok,lalu pulang masing-masing kedaerah asalnya.
Yang jadi korban semasa Romusha yaitu Bapak Sarkib meninggal di Singapura karena sakit,sedangkan Bapak Yusaikut dengan rombongan pulang ke Cikaso.tapi sekitar bulan Agustus 1946 pulang lagi ke daerah Jawa Timur bergabung dengan rekan-rekannya waktu jadi Romusha di Singapura.
         Bulan Agustus 1947 Bapak Yusa kembali ke Cikaso(waktu itu penulis baru lahir) selanjutnya mengambil perbekalan beras dari gudang di Ciloa dan pada waktu pulang ke pelabuhan Cirebon diantar oleh adiknya sampai ke pelabuhan Cirebon.Baru pada tahun 1948 saat Maguwo diserang oleh pasukan Belanda ada berita melalui surat yang dikirim ke Cikaso bahwa ia sakit di Rumah Sakit Jombang dan itu merupakan berita terahir,karena sampai saat ini tidak ada kabar beritanya lagi.
6. Ada pula yang jadi Heiho yaitu Bapak Apda dan Bapak Sastramarka.
         Demikianlah sekilas pintas gambaran penjajahan Jepang di Desa Cikaso,yang jelas masyarakat cukup menderita kekurangan sandang,pangan,harta benda dan tenaga diperas habis-habisan.tidak aneh pula bila setiap harinya hanya makan apa adanya seperti Bonggol Cau(Pisang),Pepaa muda,sampai daun katuk pun habis dimakan.adapun yang menjadi korban pada masa pendudukan Jepang yaitu Bapak Sarkib meninggal di Sunanto(Singapura),dan Bapak Yusa yang hilang tak kembali.
2.      MASA REVOLUSI
Gema Proklamasi yang di bacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta gaungnya tidak hanya di kota-kota saja,tapi menembus keseluruh pelosok tanah air Indonesia,ke desa-desa dank e kampong-kampung di sambut dengan penuh kegembiraan dan harapan oleh seluruh rakyat Indonesia.tak ketinggalan masyarakat Desa Cikaso menyambut gembira Proklamasi Kemerdekaan,tanda kegembiraan ini dibuktikan dengan kesiapsiagaan seluruh masyarakat untuk menjaga kemerdekaan dengan langkah pembentukan Serikat Keamanan Rakyat (SKR)yang mempunyai tugas mengawasi situasi yang ada,menggerakan masyarakatuntuk menjaga keamanan,khususnya dari gangguan penjajah.Serikat Keamanan Rakyat ini di koordinir oleh para Pamon Desa dan tokoh-tokoh pemuda diantaranya Bapak Yaman,Bapak Abu Bakar dan Bapak Suparma dengan anggota hamper melibatkan seluruh masyarakat terutama para pemuda.
Sebelum menceriterakan lebih lanjut keadaan dan peristiwaperistiwa di Cikaso pada masa revolusi,penulis terlebih dahulu akan menceritakan keadaan situasi umum,keadaan lascar dan tentarayang berada di daerah Kabupaten Kuningan terutama setelah mereka kembeli dari Yogyakarta.
Ada beberapa nama pimpinan tentara dan laskar yang sering disebut-sebut para bekas pejuang di Cikaso pada saat menceritakan pengalamannya,diantaranya adalah Mayor Rukman ,Letnan Purnomo,Imam Hidayat,Kapten Addela,Satro(Sastrosuwiryo).Bunawi,Mahmud Pasha dan Khamdi.Siapa-siapakah mereka itu,dalam kesatuan mana dan apa kedudukannya/jabatannya?
Untuk menjawab semua ini penulis akan menceritakan/mengisahkan batalyon Rukman yang menyusup ke Jawa barat dari Yogyakarta,adapun kisah ini penulis sarikan(diringkas)dari buku sejarah”SILIWANGI DARI MASA KE MASA’’,adapun inti ceritanya sebagai berikut;
Dengan dilaksanakannya persetujuan RENVLLE pada tanggal 17 januari 1948.Batalyon  Rukman dating ke Kuningan pada tanggal 26 september 1948 jam 17.30, tepatnya di Desa Kadubungkus.Untuk tidak menyulitkan Pemerintah Republik Indonesia dalam perjuangan diplomatiknya,maka kode Batalyon (Batalyon I Brigade XIII / Siliwangi) dirubah menjadi “KESATUAN GERAKAN RAKYAT MERDEKA’’ (KGRM) sedangkan markas yang dianggap tetap sebagai basis yaitu di desa CIKAHURIPAN.
Didaerah kuningan sebelum pasukan TRI yang hijrah kembali terdapat pasukan / laskaryang tidak ikut hijrah yang menamakan “Kesatuan Pemberontakan Rakyat Merdeka”yang disingkat KPRM. Untuk adanya kesatuan dalam perjuangandiadakanlah perundingan antara KPRM dan KGRM,meskipun mengalami berbagai kesulitan dari dua belah pihak,dengan pembagian tugas yaitu KGRM sebagai tugas-tugas tempur dan KPRM sebagai tugas-tugas territorial.Laskar-laskar KPRMini semula di pegang oleh BUNAWI kemudian diganti oleh Letnan Mukhayar A.
Susunan stap KGRMpada waktu itu adalah Kapten Adimartapraja,Letnan Sudirja,Letnan Usman Jatikusumah,Kapten  Mustapa membawahi Cirebon Timur dan Kuningan Timur,lenan moh ilyas membawahi majalengka barat dan selatan.daatasemen KI machmud pasha menguasai daerah Cirebon barat,Cirebon utara dan kuningan utara,Kapten sidik membawahi daerah ujungjaya dan congeang,kapten M.A Sentot membawahi daerah indramayu.
Kepala staf koordinasi KGRM / KPRM oleh mayor Ribut,lalu di tangkap belanda tanggal 20 Nopember 1948 dan akhirnya menyebrang ke pihak belanda.Setelah tgl 19 september 1948 pihak belanda melaksanakan serangan ke pihak RI,maka KGRM menggunakan kode kesatuannya ialah Batalyon I/XII/IV Siliwangi yang di pimpin tetap oleh Mayor Rukmana merangkap Komandan STC.
Berdasarkan intruksi MBKAD N0 1/MBKAD/48 tanggal 28 september 1948di butuhkan adanya organisasi pemerintah Militer di daerah daerah dan kabupaten kabupaten,maka di daerah Cirebon di bentuk KDM – KDM ( Komando distrik Militer) yang komandannya di ambil dari komandan pasukan,sedangkan Kepala staf di ambil dari pejabat Teritorial sipil dan kelaskaran,adapun staf STC adalah kepala staf urusan territorial,semula Mayor Adi martapraja,Kepala bagian umum letnan RA Sutisna,Kepala bagian pertahanan Kapten D Apandi,Kepala Ekses Letnan Purnomo/Sdr Bede,Kepala bagian khusus Letnan Diponegoro.
Staf urusan tempur di prkuat dengan adanya Kaften Wahyu hegono dan sbg wakil dari KDM.SPC dalam bidang territorial dan pemerintahan di perkuat dengan adanya mayor A Gani,Bidang kepolisian,Polisi Militer diperkuat oleh adanya kapten Adela.
Tokoh tokoh politik di ikut sertakan pula baik di tingkat STC maupun KDM KDM, di antaranya: Iman hidayat,Ukon,Osa maliki,Abdurrahman,tjimong,Moh Mihrad,T Moh Ilyas,Wirya,Khapil,Nur atmadibrata,Niti sasmita,A Bagja,Suarso,Sudjono.KDM Kuningan di jabat oleh letnan D Sudirja, kemudian bergeser kepada letnan a Sutisna.
Demikianlah sekedar gambaran situasi keadaan di daerah Kuningan dan penyusupan Batalion Rukman ke Jawa barat.Dalam pengolahan revolusi,terdapat bentrokan-bentrokan antar kita,antara TRI dengan lascar dan di daerah Kuningan terjadi bentrokan antara TRI dengan lascar Divisi Bambu Runcing,Adapun kisahnya seperti di ceritakan dalam buku”MEMENUHI PANGGILAN TUGAS” jilid I karya A Haris Nasution,adapun isi ceritanya sebagai berikut:
Panglima Besar Sudirman memberikan mandate kepada sutan Akbar dari lascar rakyat untuk menyusun kekuatan kekuatan di Jawa Barat dengan dasar pikiran bahwa pimpinan dan tentara yang ada di Jawa Barat dalam keadaan kacau balau dan untuk itu di bentuk divisi Bambu Runcing.
Laskar Rakyat dibawah Pimpinan Sutan Akbar selain membawa mandate dari panglima Besar,juga membawa uang dan pasukan dari Yogyakarta,maka dengan modal ini,Sutan Akbar dalam waktu yang singkat telah dapat menarik lascar-laskar rakyat ada di bawah piminannya.
Untuk menghindari gesekan gesekan dengan TRI maka KDM Cirebon yang semula berpusat di Ciwaru di pindahkan ke Cipedes ( Desa saat ini masuk kecamatan Ciniru).
Semula KMD tak menghiraukan soal Sutan Akbar,tapi setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap pasukan TRI,perampasan senjata,perampasan uang beberapa juta dan zender yang di kirimdari Yogya untuk KMD,selain itu dengar pula bahwa pasukan Machmud Bunawi di tetapkan oleh Sutan Akbar sebagai kesatuan batalyon mereka dan mengangkatnya sebagai komandan batalyon,maka mulailah KMD menaruh perhatian.
Untuk menghancurkan pasukan lascar Bambu Runcing,di susunlah suatu rencana penyerangan ke Obyek Ciwaru untuk menangkap benggolan benggolannya.Pimpinan Bambu Runcing yang terpenting antara lain Sutan Akbar,Sastrowiryo,K ahmadi dan maulana.Pasukan Mahmud akhirnya dapat di kembalikan tentara,tapi sementara pura pura tunduk kepada Sutan Akbar untuk menggali keterangan keterangan yang jelas.
Tidak diketahui tanggal dan harinya dimulailah serangan terhadap divisi Bambu Runcing.pasukan Mahmud pasha yang semula dikira memihak Bambu Runcing,diperintahkan untuk melepaskan diri sehingga moril pasukan bambu runcing turun sekali,akhirnya mereka dapat di hancurkan.Beberapa pimpinannya melarikan diri,17 orang difulisir antara lain Sastrosuwiryo dan maulana,sedangkan sutan Akbar akhirnya tertembak ketika akan terjun ke kali cisanggarung.dan berahirlah petuangan divisi Bambu Runcing dan peristiwa ini sering di sebut peristiwa CIWARU.
Dari kisah kisah diatas mak terjawablah siapa-siapa yang sering disebut oleh para bekas pejuang di cikaso,yaitu:
1.      Mayor Rukman,adalah komandan Batalion I Brigade II Siliwangi yang hijrah keYogyakarta dan saat kembali pasukannya menetap di kuningan.Mayor Rukman terlibat G30S/PKI dalam pangkat Mayor Jenral.
2.      Letnan Purnomo,adalah Kepala Pangkat Mayor Jenral.
3.      Imam Hidayat dan A.Bagja,adalah tokoh politik/Sipil yang ditugaskan di STC/KDM.
4.      Kapten Adela,adalah Komandan Polisi Militer.
5.      Mahmud Pasha,adalah komandan Kompi III Batalyon Rukman.
6.      Khamdi dan Sastrosuwiryo,adalah pimpinan-pimpinan Divisi Bambu Runcing yang semula tergabung di KPRM.
7.      Osa Maliki terkenal pada saat PNI pecah jadi dua,ada PNI Ali Surahman (ASU) yang condong ke kiri dan Osa Maliki-Usep Ranwijaya (Osa-Usep).
8.      Moch.Hapil,pernah jadi bupati sumedang Periode 1960-1966 dan penulis pernah bertemu pada masa KAPI/KAMI.
9.      Usman Jati Kusumah,perah jadi Bupati Kuningan periode 1960-1966.
10.  RA. Sutisna, pernah jadi Buati Cirebon, Residen Wilayah V Cirebon dan saat ini (1990) anggota DPR Propinsi DT. I Jawa Barat.
11.  D.Sudirja,adalah purnawirawain ABRI menetap di Kuningan.
12.  Bunawi,adalah pimpinan KPRM,juga salah seorang perwira polisi militer.selanjunya jadi tokoh pada pasukan Bambu Runcing,ahirnya bergabung dengan BSH, Bunawi ahirnya terbunuh pada saat akan di tangkap.
Cerita tentang penangkapan bunawi ini akan sedikit penulis uraikan di sini,penulis mendapatbahan cerita dari surat kabar buana minggu yang di tulis oleh Rukmana HS,ringkasan cerita     
Adalah sebagai berikut: Gerombolan yang telah merongrong kewibawaan RI semasa Revolusi fisik sekitar tahun 1953 adalah DI/TII/S Bambu runcing dan BSH ( barisan Sakit Hati).BSH hampir di seluruh jawa barat ada,pusatnya di Cirebon,mereka adalah tentara tentara yang ikut perang kemerdekaan akan tetapi karena berbagai ketentuan,dan persaratan tidak dapat di terima jadi TNI lalu mereka bersatu dan membentuk satu kesatuan yang bernama BSH salah satu pimpinannya yang terkenal adlah SUKI, Suki ahirnya mati di hutan Loyang,sat dia di bawa untuk menangkap teman temannya tapi dia lari dan ahirnya dia di tembak.adapun letnan Bunawi salah seorang perwira polisi Militer di Cirebon banyak hubungan dengan BSH,bahkan melindungi mereka,hal ini bisa di pahamikarna bunawi mendapat jaminan materi dari gerombolan BSH berupa hasil penggarongan dan pencurian.Setelah panglima KOSASIH tahu bahwa bunawi bersekutu dengan BSH,diperintahkan Batlyon 320 untuk menangkapnya sehingga bunawi di tangkap di rumahnya tapi berhasil meloloskan diri ke Jakarta berlindung di MBPT ( Markas besar polisi tentara) MBPT nelindunginya,tapi bila bersalah akan menangkapnya, akhirnya bunawi lari lagi ke Cirebon dan bersembunyi di rumah salah seorang dukun,Bunawi di tangkap oleh batlyon Brawijaya resimen 19 sementara sebelum di serahkan ke batlyon 320 di sekap di pos tentara dekat rel kereta api.ia meloncat dari jendela dan lari sepanjang rel,tapi dia terpeleset karena berembun, petugas menembaknyadan berahirlah petualangan Bunawi adapun gangguan gangguan yang di timbulkan BSH truk truk yang lewat Jakarta – Jawa tengah mereka minta  cara paksa kepada sopir sopir truk, atau jadi pengawal dan meminta uang pengawalan dan lain lain kejahatan seperti penculikan lalu minta tebusan.


Di susun oleh : Ir Tauhid Aradias (Almarhum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar